Hari Wawancara

129 11 4
                                    

TODAY is the day! Setelah menghabiskan waktu setengah jam mematung diri di depan cermin, akhirnya aku keluar dari kamar. Aku mengenakan blazer dan celana bahan panjang berwarna navy serta blus putih, serta menyapukan makeup tipis dan mencatok rambut untuk wawancara hari ini. Tak lupa, aku melengkapi penampilan ini dengan sepatu hak tinggi berwarna nude dan meminjam tas Mama yang berwarna senada.

Pukul enam pagi, Papa mengantarku menuju stasiun Bekasi. Mama juga membekaliku roti untuk aku makan di jalan. Aku mengecek berkas yang kubawa berkali-kali, memastikan semuanya lengkap seperti yang diminta.

"Kamu yakin nggak mau diantar sampai Sudirman, Sof?" tanya Papa.

"Nggak usah, Pa. Lebih cepat naik commuterline," jawabku sambil mencomot roti.

"Memangnya nggak apa-apa naik kereta pakai sepatu tinggi begitu? Nanti kamu keseleo. Pakai sandal aja dulu," Papa terdengar khawatir.

Aku tertawa. "Tenang aja, Pa. Aku udah belajar jalan pakai sepatu hak tinggi, kok."

Setengah jam kemudian, kami tiba di Stasiun Bekasi. Kukira, stasiun ini masih lengang pada pukul 06.30, tapi kulihat ratusan orang tampak saling menerobos untuk mengejar kereta yang akan segera diberangkatkan. Aku terperangah di tempat, membayangkan diriku akan berjejalan dengan para pekerja lain di kereta setelah ini. 

Kereta yang kutunggu mulai memasuki peron, sontak seluruh penumpang mendekatkan diri ke arah pintu hingga aku ikut terhimpit. Tak kusangka begitu pintu kereta terbuka, para penumpang langsung saling mendorong untuk bisa masuk tanpa memedulikan penumpang lain yang hendak turun! Aku menjadi salah satu korban yang terhuyung ke sana-sini, sampai akhirnya berhasil memijakkan kaki di lantai kereta dan mendapatkan straphanger untuk dipegang. 

Sungguh, aku tak bisa membayangkan jika harus merasakan situasi ini setiap pagi. Ini bukan kali pertama aku naik commuterline Jabodetabek, tapi jarang sekali aku merasakan naik kereta pagi bersamaan dengan para pekerja. Semasa kuliah, aku menetap di kos karena tidak sanggup pulang-pergi Jakarta-Tambun setiap harinya.

Kini, kakiku mulai kebas dan punggungku kaku karena terlalu lama menopang diri. Aku tak berhenti menyembur sumpah serapah di dalam hati tiap kali ada penumpang yang memaksakan diri untuk naik, padahal tidak ada ruang yang tersedia lagi. Rasa kesalku bertambah karena seorang cewek mengecap permen karet dengan kencang tepat di samping telingaku dan seorang pria kini mengangkat tangannya tinggi-tinggi tanpa sadar bahwa kemejanya basah di bagian ketiak! Sontak, aku memejamkan mata.

Bertahanlah, Sofia. Sebentar lagi kamu bakal jadi pegawai WMCG, punya gaji dua digit, dan bisa beli mobil sendiri. Jadi, nggak akan ada lagi desak-desakan di kereta kayak begini!

Saat kereta tiba di Stasiun Manggarai, ribuan manusia seolah tumpah begitu saja dari pintu gerbong. Selain naik, ternyata kami juga harus berjuang untuk bisa turun. Aku hanya pasrah mengikuti arus dan membiarkan penumpang lain mendorong tubuhku sampai akhirnya aku berhasil keluar. Namun, perjuanganku belum selesai, karena aku masih harus mengejar kereta tujuan Angke di peron lima yang tak lama lagi akan segera diberangkatkan. Tampaknya aku waktuku tak akan cukup kalau harus menyeberang lewat underpass—lagipula, tangganya banyak sekali! Alhasil, aku berlari dari peron satu menuju peron lima seraya mengutuk diri karena tidak mendengarkan ucapan Papa untuk pakai sandal jepit pagi ini.

Jujur saja, aku belum terbiasa berlari menggunakan sepatu hak tinggi. Rasanya menyakitkan hingga aku oleng ke sana kemari. Entah sudah berapa orang yang kutabrak karena posisi tubuhku yang tak seimbang, bahkan aku mendengar beberapa dari mereka meneriakkan ucapan kasar padaku. Sambil terus berlari, aku mengingat-ingat berapa tinggi hak sepatu yang kupakai. Sepertinya tujuh, atau sebelas? Astaga... kenapa aku beli sepatu setinggi ini, sih?!

Fresh Grad [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang