Valedictorian

188 13 12
                                    


SEMUA berawal dari momen yang indah bernama wisuda. Papa sudah bersiap-siap dengan jas abu-abu favoritnya bahkan sebelum matahari menampakkan diri. Beliau sangat bersemangat untuk wisudaku hari ini.

"Sof, jubah sama toga wisudanya udah disiapin?" tanya Mama dari arah dapur. Dibanding kami semua, Mama-lah yang paling repot karena harus membuat nasi goreng sambil mengenakan kain dan kebaya. Salah sendiri, beliau bersikeras ingin dirias sebelum aku. Paling-paling sekarang riasannya sudah luntur bercampur keringat dan minyak dari wajan.

"Udah, Ma," jawabku malas.

"Nah, bagus, kan, Sof, riasan Tante? Ngapain bayar makeup artist mahal-mahal? Hasilnya juga nggak jauh beda," tanya Tante Ghea setelah selesai mengoles lipstik di bibirku. "Gini-gini Tante pernah ngerias ibu-ibu PKK buat acara tujuh belasan, lho, Sof. Kata mereka hasil riasan Tante kayak certified makeup artist."

Aku hanya mendeham, ingin sekali memercayai ucapan tanteku itu kalau saja bukan aku yang selalu menjadi objek latihan meriasnya selama ini. Hari ini pun aku hanya bisa pasrah dirias olehnya, karena tidak ada makeup artist  yang sudi datang ke rumahku di pelosok Bekasi pukul setengah lima pagi.

Ya, pelosok Bekasi. Kalian tidak salah baca. Bekasi sudah cukup menjadi kota yang dianggap terpencil, tapi lokasi rumahku jauh lebih terpelosok. Ingin tahu di mana persisnya? Tambun! 

Setelah selesai merias, Tante Ghea menggelung rambutku dan membantuku memakai kebaya beserta kainnya. Aku memperhatikan pantulan diriku di cermin sebelum beranjak. Selain bagian mataku yang kelihatan seperti orang babak belur (aku tidak boleh protes karena riasan ini gratis), hasilnya cukup bagus kali ini. Kebaya merah marun ini juga tampak pas di tubuhku.

"Kami berangkat ya, Ghe. Titip Dennis dan jagain kios," pesan Mama kepada Tante Ghea ketika kami sudah duduk di dalam mobil.

"Siap, Mbak. Semoga lancar wisudanya!" balas perempuan itu.

Jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, sedangkan wisudaku akan dimulai pukul delapan. Kuharap jalanan tidak semacet biasanya dan aku bisa tiba di kampus tepat waktu.

"Cieee, yang sebentar lagi jadi sarjana. Gimana rasanya, Sof?" ledek Papa dari balik kemudi.

"Seneng dong, Pa!" cetusku.

Bagaimana aku tidak senang? Setelah ini, aku akan resmi melepas status sebagai mahasiswa dan memulai kehidupan yang sesungguhnya! Aku akan terbebas dari tugas dan laporan, kegiatan organisasi yang melelahkan, juga beberapa teman dan dosen yang menyebalkan. Kini, aku bisa mengendus aroma hidupku yang baru! 

Setelah ini, aku ingin sekali bekerja sebagai praktisi public relations di perusahaan impinaku: Walter Martin Consulting Group! Kebetulan, mereka membuka lowongan untuk junior consultant seminggu yang lalu. Aku sudah memasukkan lamaran di sana, semoga saja mereka akan memanggilku untuk wawancara.

45 menit kemudian, kami akhirnya menginjakkan kaki di lobi kampus. Wisuda akan digelar di auditorium tempat seluruh acara besar dilakukan. Beberapa wisudawan terlihat memenuhi area depan auditorium sambil berfoto bersama keluarga masing-masing. Aku pun mengeluarkan jubah dan toga wisudaku, kemudian mengenakannya

Ketika berjalan memasuki auditorium, salah seorang panitia wisuda mendekati kami di dekat pintu masuk. Dia berkata bahwa Mama dan Papa mendapat jatah kursi di bagian depan dekat panggung. Hal itu kami sambut dengan gembira mengingat beberapa orangtua harus duduk di bagian tribun.

Prosesi wisuda dibuka dengan banyak sambutan, mulai dari rektor sampai tamu penting yang hadir. Sejujurnya, tidak ada yang menarik dari momen wisuda itu sendiri, selain menunggu giliran nama kami dipanggil satu persatu untuk menerima ijazah. 

Fresh Grad [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang