Sepulang dari kampus, kami mampir ke Duck King untuk makan siang. Papa bilang, ini adalah bentuk perayaan atas pencapaian wisudaku, aku tetap senang walau itu artinya tak ada tambahan uang jajan setelah ini.
"Syukurlah, hari ini anak pertama Papa udah resmi jadi sarjana," ujarnya sambil meregangkan tangan, "Gimana, Sof? Udah siap nerusin bisnis laundry kita?"
Aku yang tengah menyeruput teh hijau langsung tersedak. "Nerusin bisnis laundry?!"
Keluargaku memang merintis usaha sejak lima tahun lalu. Papa memutuskan untuk resign dari perusahaan tempatnya bekerja dan memulai bisnis rumahan. Usaha laundry kami memang terbilang sukses pada dua tahun pertama, Papa bahkan mempekerjakan salah satu tetangga kami, Adi, untuk menjadi kurir antar pesanan. Namun, belakangan ini, pelanggan yang datang mulai menipis.
Jujur saja, soal rencana meneruskan bisnis, aku belum pernah memikirkan (bahkan mendengar) yang satu itu. Mungkinkah Papa cuma bercanda?
"Iya, Sof. Papa percaya bisnis kita bisa semakin maju di tangan anak muda seperti kamu," tutur Papa penuh harap.
Oh, tidak... ternyata beliau serius!
Aku mendeham pelan. "Sebenarnya, aku udah ngelamar kerja minggu lalu, Pa," ucapku sambil menatap wajah Papa takut-takut. "Kebetulan ada lowongan di Walter Martin Consulting Group untuk junior consultant. Aku udah masukin lamaran di sana."
"Walter Martin itu perusahaan apa, Sof?"
"Mereka salah satu konsultan public relations terbesar, Pa."
Walter Martin Consulting Group (WMCG), menyebut nama itu saja rasanya seperti memanggil sesuatu yang tak terjangkau di antariksa. WMCG memiliki basis di New York dan kantor cabang di berbagai negara, bahkan rata-rata klien mereka masuk ke dalam kategori blue chip company. Berani bertaruh, hanya orang-orang bodoh yang menolak jika diberi kesempatan bekerja di WMCG, karena selain gaji dan tunjangannya yang menggiurkan, mereka juga punya jenjang karir yang mumpuni serta lingkungan kerja yang suportif.
"Hmm, bagus, dong. Berarti kamu bisa bantu promosiin kios laundry kita, Sof," sahut Papa, masih berusaha mengaitkan masa depanku dengan bisnis laundry.
Beruntunglah, Mama punya respons yang lebih positif. "Kalau begitu, kami tunggu kabar baiknya ya, Sof."
Seorang pramusaji datang membawakan pesanan, Mama membantunya menata piring di meja. Begitu seluruh hidangan siap, aku langsung melahap bebek peking tumis cabai hijau bulat-bulat.
"Pokoknya ingat pesan Papa, ya, Sof. Apa pun rencanamu nanti, selalu kerahkan usaha yang terbaik," ujar Papa sambil menyendok nasi ke piringnya. "Kamu udah jadi sarjana sekarang––satu-satunya sarjana yang ada di keluarga kecil kita. Jadi, kamu harus berjuang untuk masa depan kamu."
Aku mengangguk untuk merespons pesan itu. Diam-diam, perutku berpilin gugup. Papa benar, aku harus berjuang dan melakukan yang terbaik untuk masa depanku, karena kehidupan yang sesungguhnya baru saja akan dimulai.
***
Ketika mobil tiba di depan rumah, seorang cowok tampak sudah menunggu sambil bersandar di tembok pagar. Dia menggenggam sebuah balon besar bertuliskan 'Happy Graduation!' dan enam balon helium bercorak polkadot. Cowok itu sontak menyeringai begitu melihatku turun dari mobil, yang langsung kubalas dengan muka kecut.
"Welcome home, valedictorian*!" serunya sembari melebarkan tangan seolah siap memelukku.
Aku langsung mendorongnya. "Nggak usah aneh-aneh, deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fresh Grad [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSofia percaya lulus kuliah akan membawanya pada kehidupan baru yang indah. Bekerja di konsultan PR ternama, punya gaji tetap, dan bisa menjadi apa pun yang dia mau. Dia sudah punya rencana matang untuk hidupnya, bahkan nilai dan prestasi yang memban...