Semenjak kedua orangtuanya wafat beberapa tahun lalu, Nala kira hari-hari setelahnya hanya akan berisikan kekosongan yang entah akan berjalan sampai kapan. Apalagi saat itu Nala tak lagi memiliki Dimi yang dulu selalu ada bersamanya. Waktu itu untuk pertama kalinya Nala tahu rasanya sendiri, rasanya sepi, rasanya putus asa, dan rasanya hampa. Kakek nenek Nala sudah meninggal lama, entah itu dari pihak ayah maupun bundanya. Keluarganya yang tersisa saat itu hanyalah tantenya dan Nala tahu, tante Elena tak pernah benar-benar dekat dengan keluarganya. Nala ingat bunda pernah cerita kalau tante Elena sudah merantau di Jakarta sejak kuliah dan jarang sekali pulang, apalagi setelah tante Elena menikah dengan suaminya yang seorang Politisi. Ketika kedua orangtuanya wafat, Nala tahu kalau dia akan tinggal dengan tante Elena jika ia SMA nanti. Nala tidak bisa selamanya tinggal di Pekanbaru seorang diri, apalagi Nala hanya anak SMP waktu itu. Makanya tepat satu setengah tahun setelah kedua orangtuanya wafat dan tepat setelah kelulusannya, Nala segera meninggalkan Pekanbaru. Meninggalkan kenangan indah dan buruknya disana, lalu pergi ke Jakarta tanpa keinginan yang pasti.
Sayangnya Jakarta juga nggak menyambutnya dengan baik, pun Nala sudah bisa menebak itu sebelumnya. Tinggal dengan tantenya yang bahkan jarang pulang untuk menemui keluarganya, apa yang bisa Nala harapkan? Nala jelas diacuhkan dan kesendiriannya jadi kian meradang.
Nala hampir gila sebetulnya dan reuninya dengan Dimi di SMA tidak membawa banyak perubahan pada awalnya. Nala benar-benar hampir saja menyusul kedua orangtuanya kalau saja Dimi tidak muncul di rooftop sekolah dan menyelamatkan Nala dengan cara sederhananya. Hari itu Nala akhirnya mengurungkan niat untuk mati dan sekali lagi ia memiliki Dimi, sahabatnya, kembali.
Setelahnya kekosongan itu mulai terisi, bak wadah polos yang mulai dipenuhi air, Nala mulai kembali ke dunia yang semula ia kira tak lagi memihak padanya. Air itu membawa keteduhan, membawa ketenangan, serta membawa Nala untuk kembali mengecap rasa senang dalam hidupnya. Tidak hanya Dimi, bukan hanya cowok itu yang merangkulnya kembali, kedua orangtua Dimi juga memiliki peran yang tak kalah besar. Mama dan Papa memeluknya lebih hangat bahkan dari keluarga Nala sendiri. Dimi sekali lagi berada disisinya, mengisi tempat-tempat di hati yang Nala kira sudah tak mampu berpenghuni.
"Gimana kabarmu, nak? Papa jarang denger mama cerita tentang kamu belakangan ini. Tiap ditelpon pasti ngomongin Dimitrio. Papa sampe capek. Kamu juga pasti tau lah, isi ceritanya selalu sama. Kisah pilu tentang Dimitrio si jomblo menahun."
Nala terkekeh pelan, senyum hangat terbit di bibirnya saat papa bertanya seraya menyambut kedatangannya penuh ceria. "Nala baik, pah. Gini-gini aja kok. Emang jarang main kesini juga karena lagi sibuk sama kerjaan dan bisnis."
Hari ini Nala memang pergi kerumah Dimi, setelah mama mengancam akan ngambek setahun penuh padanya kalau Nala tak bisa menyempatkan waktu. Alasannya adalah karena papa pulang dan mereka punya jadwal makan malam bersama yang harus dihadiri Nala. Papanya Dimitrio itu seorang pebisnis dan biasanya papa akan lebih banyak menghabiskan waktunya di Pekanbaru. Dalam setahun, kepulangan papa ke Jakarta bahkan bisa dihitung dengan jari dan sering kali Nala absen hadir saat papa pulang, makanya kali ini Nala memaksakan hadir ditengah sisa pekerjaannya yang menggila. Nala juga tak mau dimusuhi mama sih, karena kalau sampai itu terjadi, Nala harus siap mengorek tabungannya dan membelikan mama koleksi Hermes terbaru. Baru deh mama nggak marah lagi.
"Gak kamu, gak Dimi. Bisnis mulu yang diurusin. Dimana sih gairah masa muda kalian? Kerjaan mulu, duit mulu. Kaya juga kalau jomblo buat apa?" mama yang baru saja tiba dari dapur menimpali sambil menaruh sepiring penuh bakwan jagung kesukaan Nala.
Nala menarik bibir. "Punya pasangan kalau gak sesuai buat apa, mah? Masih banyak waktu, pasangan kan harus satu. Makanya harus tepat."
"Widih, brother. Tumben lo bisa diajak ngobrol soal pasangan hidup gini. Udah siap nyari?" Dimi yang sejak tadi duduk di sebelahnya dan memilih bungkam –karena diomeli mama- akhirnya buka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Admirer
Fanfiction[INDONESIA - BL] Dimi itu, aduh... Agak sulit kalau harus menjabarkannya satu-satu, perlu sebuku penuh. Atau mungkin lebih. Intinya cowok itu adalah cowok yang paling anti deh sama yang namanya cinta. Ikatan serius dalam sebuah hubungan itu bukan Di...