Surat 11 : Fajar dan senja yang pasti kembali

462 51 60
                                    

WARNING! ⚠ a sexual scene with romance on top ⚠ Untuk yang masih di bawah umur, bijaksana lah dalam membaca!!!

----------o0o----------

"Malah kalau lo mau, gue bisa mencobanya... sama lo."

Hening.

Ada sunyi aneh yang tiba-tiba saja melingkupi kedua cowok itu. Seperti waktu baru saja dihentikan dengan paksa karena Dimi merasa sekelilingnya seolah diam. Dia tak mampu mendengar apapun, bahkan hiruk-pikuk Jakarta di malam hari yang semula masih terdengar, kini terdengar remeh. Hanya suara detak jantungnya, air conditioner yang rasanya berhembus lebih berisik dan juga suara detik jam imajiner saja yang mampu Dimi dengar. Yang jelas, suasana yang melingkupi mereka kali ini rasanya sangat enggak nyaman.

Nala yang sekarang berjarak beberapa sentimeter di depannya juga enggak sama sekali membantu kegugupannya. Sejak ucapan yang Dimi lontarkan, sejak tawaran yang Dimi ajukan, Nala seperti dikutuk oleh penyihir sehingga dia menjadi bisu. Seluruh atensinya dipaksa untuk memaku pada Dimi yang jadinya semakin kikuk. Nala enggak bersuara. Hanya bola matanya saja yang bisa Dimi lihat semakin melebar dan bagusnya itu enggak berlangsung lebih lama lagi karena di detik setelahnya, Dimi mendengar pekikan yang nyaringnya siap diadu dengan amukan ibu-ibu komplek yang berebutan sayur setiap pagi.

"Hah??!" dan "Lo udah gila ya Dimitrio?!"

Adalah kalimat pertama yang Nala teriakkan dan enggak sampai disitu saja.

"Lo pikir ini main-main ya? Lo kira semua ini semudah itu kali ya? Heh, mikir! Gue ini bukan perempuan yang bisa lo ajak begitu seenak jidat lo tanpa lo harus pikir panjang. Dimi, gue laki-laki. Lo bilang apa tadi? Mencobanya? sama gue? Lo mau jadi gay juga hah?! Lo enggak liat kekacauan di kantor tadi karena gue ketahuan gay? Lo mau gitu juga hah?!!!"

"Aishaki, tenang dulu."

"Tenang dulu gimana? Hah?!" Nala kian berang. "Kalau lo punya ide begitu karena lo kasian sama gue, please jangan. Udah gue bilang lo enggak perlu mikirin soal itu. Gue enggak butuh perasaan gue dibales sama lo. Sejak awal gue tau gue suka sama lo, gue... gue-"

Kali ini Dimi yang melebarkan matanya. "Kok lo nangis lagi, sih?"

Buru-buru Dimi menarik Nala kembali dalam pelukannya. Membiarkan Nala sekali lagi memukul dadanya, cukup keras kali ini.

"Jangan main-main sama perasaan gue, Dimi. Tolong." ucap Nala lirih. Dia terisak keras-keras. "Gue enggak pernah berharap sama lo. Jangan kasih gue tawaran yang hanya akan membuat gue jadi malah punya harapan itu. Please, lo enggak harus membalas perasaan gue kok. Lo enggak perlu mencoba sesuatu hanya karena gue."

Dimi mencoba menenangkan Nala dengan mengelus bahunya. Dia tahu itu enggak akan membantu banyak, tapi Dimi juga enggak mau kalau hanya diam.

"Maafin gue, Aishaki. Maaf kalau ucapan gue justru menyinggung lo. Gue... enggak berniat begitu. Demi tuhan." jelas Dimi. Dengan lembut, dia juga kini menaruh sisi wajahnya di atas kepala Nala. Dekapan itu kembali dia eratkan. "Tapi seperti yang gue bilang, gue adalah orang terakhir yang akan nyakitin lo. Ucapan gue tadi jelas enggak main-main. Gue tau, gue sadar apa yang gue ucapkan."

"Tapi-"

"Gue menghargai lo, Aishaki. Meskipun mungkin rasa yang gue punya ke lo berbeda dengan apa yang lo punya untuk gue, tapi sejak dulu gue juga sayang sama lo." Dimi menyela Nala. Tak ingin memberi cowok itu kesempatan bicara sebelum dia menjelaskan semuanya. "Kalau niat gue adalah untuk ngasih lo harapan yang nantinya hanya untuk menyakiti lo, gue bakal jadi orang paling tolol di muka bumi ini. Karena gue paham lebih dari apapun, kalau gue menyakiti lo, itu sama aja kayak gue menyakiti diri gue sendiri."

Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang