2. Duel Pantang Menyerah

294 41 8
                                    

Sesampainya di halaman rumah, Aksa melihat sebuah mobil terparkir di garasi rumahnya. Mobil keluarga yang biasa digunakan papanya untuk transportasi dalam bekerja.

Sebentar lagi dewi malam akan meraih kemenangan, menggelapkan langit yang kini telah jingga merona merindukan besok pagi tiba. Sang surya akan bergantian dengan satelit alami bumi yang sudah menampakkan diri di langit.

Netra Aksa langsung menatap tajam ke arah pintu utama rumahnya yang terbuka. Apakah kedua orang tuanya beradu mulut? Kecemasan itu semakin membuncah kala mengingat fakta bahwa Sherina sangat sensitif terhadap suara-suara keras nan tegas.

Aksa segera bergegas memarkirkan motornya di garasi dan memasuki rumah. Dicermatinya ruang tamu dan sekitarnya, tampak sepi. Dugaan Aksa semakin menguat bahwa kedua orang tuanya memang telah beradu mulu, dan Sherina mendengarnya.

Datanglah seorang wanita yang berusia hampir setengah abad dari belakang rumah dengan langkah cepat. Aksa menunggu kedatangan Bu Parti, orang yang bekerja sebagai ART di rumahnya. Sebentar lagi Bu Parti sudah berhenti bekerja untuk keluarga Aksa karena beberapa sebab.

"Mas, Bapak sama Ibu habis berantem lagi. Mbak Sherina tahu, dia langsung ke kamarnya. Mas tolong cek Mbak Rin ya, saya khawatir," ujarnya memberitahu dengan suara pelan. Aksa hanya merespon dengan anggukan dan segera menaiki tangga menuju kamar Sherina di lantai dua.

Tok tok tok

"Rin, buka pintunya. Ini Mas," ucap Aksa memegang knop pintu kamar Sherina dengan tangan kanannya.

Ceklek....

Aksa langsung masuk ke kamar adiknya itu, diikuti dengan dikuncinya kembali kamar tersebut.

Sherina langsung memeluk kakaknya sambil terisak. Tanpa berkata apapun Aksa sudah tahu sebab adiknya itu menangis. Lagi-lagi hatinya tersayat dengan sebab yang sama, melihat adiknya menangis karena pertengkaran kedua orang tua mereka.

"Sini duduk, minum dulu ya," ajak Aksa menarik pelan pergelangan tangan Sherina untuk duduk di tepi ranjang. Yang diajak hanya menuruti.

"Sini peluk lagi," perintah Aksa setelah Sherina minum. Aksa perlahan menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

"Kapan selesainya sih, Mas? Aku capek!"

"Mas juga gak tahu, Rin. Ikuti saja alurnya, Tuhan tahu yang terbaik untuk kita" balas Aksa, "entah bahagia apa yang akan kita terima setelah ini semua...."

"Eum? Iya juga..., semoga...."

"Kita gak tahu kapan ini berakhir, yang penting kita jalani semaksimal yang kita bisa ya, Rin."

"Saling melengkapi, saling menguatkan, oke? Masa lupa dulu kita pernah janji tentang ini, Rin?"

"Aku nggak lupa kok, Mas. Tapi, aku emang gak sekuat Mas saja."

"Kalau belum sekuat mas?"

Ego telah memaksa Sherina untuk tidak berpikir sejenak, membiarkan pikiran kosong dengan lamunan selama beberapa menit. Namun tak lama setelah itu realita mendorong pikiran kosong keluar dari otaknya, mengajak untuk berpikir lagi.

"Ya kalau kita sama-sama kuat, kan jadi..., nggak saling melengkapi karena gak membutuhkan satu sama lain, ya?"

"Good, itu maksud mas. Dan manusia itu bukan sesuatu yang konstan, permanen, atau apapun itu yang tetap. Manusia akan berubah, ia dinamis. Di suatu waktu, akan ada saatnya mas gak semampu yang sekarang, atau lebih mampu dari yang sekarang."

"Dan itu juga berlaku untuk situasi yang kita alami saat ini, yang juga kita alami sebelumnya, juga keadaan yang belum dan akan terjadi nantinya. Semua dinamis, berputar, berganti, bisa saja terulang. Gak selamanya Papa sama Mama akan terus bertengkar, dan gak selamanya adik mas ini akan menangis saat melihat serta mendengar itu semua. Kita butuh untuk berpikir positif, kita optimis bahwa kita bisa, ya."

RepairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang