"Untuk bisa melangkah maju, kita harus siap menerima semua konsekuensi yang akan berlabuh, berpisah dengan orang lama, dan bertemu dengan orang baru."
~~~
Peluk yang hangat, senyum yang menenangkan, kalimat yang mengharukan, dan lambaian tangan yang menyesakkan adalah interaksi terakhir dengan keluargaku, di Indonesia.
Tidak henti-hentinya abang, bunda, dan ayah mengucapkan kalimat "baik-baik ya disana", kalimat sederhana namun mampu membuatku merasa begitu berharga.
Tidak ada kalimat 'selamat tinggal' yang kami semua lontarkan, hanya seucap 'sampai jumpa' yang mampu meyakinkan semua diantara kami bahwa nanti pasti akan kembali bertemu.
Sekarang, aku sudah berada di dalam pesawat. Duduk tepat di samping jendela yang dengan jelas menampakkan sayap pesawat.
Kemudian, datang seorang wanita cantik yang memilih duduk di sebelahku, aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Lantas, kembali memfokuskan pandangan pada luar jendela, terlihat beberapa petugas bandara yang masih sibuk mondar-mandir, melakukan tugasnya masing-masing dengan penuh tanggung jawab.
Tak lama setelah itu, kurasakan pesawat yang ku tumpangi hendak melandas, membuat beberapa petugas itu melambaikan tangannya kepada kami, lambaian tangan yang seolah-olah mengatakan "selamat bersenang-senang, jangan lupa untuk kembali".
Lambat laun pesawat itu benar-benar melandas terbang, dan objek yang ku lihat setelah itu hanya hamparan awan yang terlihat sangat cerah terkena pantulan sinar matahari. Seolah menyambut kedatanganku untuk bisa menikmati keindahannya dengan jarak yang lumayan dekat.
Sekarang baru pukul 9 pagi, dari bandara Soekarno-Hatta Jakarta ke bandara Seoul Incheon Internasional mampu menempuh waktu selama 7 jam, otomatis pukul 3 sore WIB atau 5 sore KST pesawat akan landas di tanah Korea.
Aku memilih untuk memejamkan mataku, kemudian kembali teringat perpisahan jarak dengan keluargaku tadi. Bandara memang tempat yang paling banyak dibenci oleh sebagian orang. Begitu banyak perpisahan yang dimulai dari Bandara.
Tadi pagi-pagi sekali, saat aku kembali mengecek isi koper yang akan ku bawa ke Korea, abang datang menghampiri. Ikut nimbrung untuk membantuku mengeceknya. Namun satu yang ku ingat, dan mungkin akan terus ku ingat.
Abang mengatakan, "Dek, umur kamu sekarang udah berapa? 19 tahun ya? Nggak kerasa ya... waktu cepat banget berlalunya. Perasaan baru kemarin kamu dan abang hujan-hujanan di kebun belakang. Abang ngajak kamu lari-larian, tapi kondisi kebun yang sedang basah dan licin bikin kamu jatuh. Lututmu sobek, kamu nangis kenceng banget, Pak Kosim tetangga sebelah sampe ngamuk gara-gara tidurnya keganggu." Abang tertawa saat menceritakannya, tawa dengan suara beratnya yang sekarang terasa menjadi candu.
Kemudian, dia mengatakan lagi, "Abang meridhoi mu untuk kuliah di Korea. Semoga kamu betah ya, jangan melakukan hal yang tidak-tidak. Pergaulan juga tetap diperhatikan. Kamu harus tahu, sebesar apapun kamu tumbuh menjadi gadis remaja, menjadi perempuan tangguh... selamanya kamu akan tetap jadi adik kecil abang. Abang nggak mau adik kecil abang terluka... abang pengen kamu bahagia, dek."
"Jika nanti ada seorang cowok yang kamu cintai, namun cowok itu tidak mencintaimu. Jangan dipaksa, selamanya dia nggak akan bisa jadi milikmu. Karena cinta itu akan benar-benar bisa disebut cinta saat kedua belah pihak saling memiliki rasa. Ya walaupun saran abang sih, jangan terlalu fokus dulu sama hal-hal yang berbau asmara. Itu mah urusan belakang, belajar dan bekerja aja dulu dengan sungguh-sungguh. Kalo nanti sukses, jodoh akan datang sendiri, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Korea | Na Jaemin
Fanfiction"Inginku hanya satu, memilikimu. Meski kenyataannya mustahil, karena kamu di sana adalah bintang dan aku di sini hanyalah satu di antara banyaknya ilalang yang berharap bisa menggapai mu." - Teruntuk Na Jaemin