"Untuk yang ketiga kalinya. Ku harap, tidak berakhir sama."
•Langit Korea•
"Gimana?"Suara berat Jeno menyambut kedatangan Jaemin yang baru saja masuk dan menutup pintu. Langkah gontainya membawanya duduk di sebelah Jeno, di meja makan yang berisikan tiga orang--- termasuk Jaemin.
Oknum yang ditanya menghela napas lelah, "Nggak ada."
"Udah gue bilang, kan. Ngeyel sih lo!" sahut Renjun.
Jaemin hanya diam, kemudian mengambil satu buah apel dan menggigitnya dengan malas.
"Setiap hari emang nggak capek? Lo bolak-balik kesana-kemari cuma pengen liat tuh cewek. Tapi hasilnya, nihil." ujar Jeno.
Jaemin bergerak, memposisikan duduknya lebih nyaman. Kemudian, menuangkan air putih ke dalam gelas kosong. Menenggaknya dengan rakus. Jeno dan Renjun yang melihat itu hanya bisa memaklumi, mereka tahu... Jaemin sedang tidak baik-baik saja.
"Kayaknya dia sengaja menghindar..." ujar Jaemin tiba-tiba.
"Berpikir tuh yang positif kek, jangan negatif mulu. Akhirnya bikin diri lo sendiri yang susah, kan?"
Jeno terlihat mengunyah rotinya dengan cepat, sepertinya dia hendak menyahuti ucapan Renjun barusan, namun di mulutnya masih dipenuhi roti. Hingga tak berapa lama, roti itu masuk ke tenggorokannya dengan sekali telan.
"Bener tuh. Bisa aja kan dia masih sibuk sama kuliahnya? Dia juga punya kesibukan sendiri, Jaem."
Jaemin diam. Namun, berusaha dengan baik untuk mencerna ucapan Jeno barusan. Jeno ada benarnya, sijeuni itu pasti masih sibuk dengan urusannya, hingga tidak ada waktu bagi dia untuk pergi ke cafe itu lagi.
Tiga minggu belakangan ini, hampir setiap hari Jaemin menyempatkan diri untuk pergi ke cafe tempat ia bertemu dengan sijeuni-nya, pertemuan untuk yang kedua kali.
Dia hanya ingin tahu bagaimana kabar sijeuni-nya. Semenjak kejadian waktu lalu, perasaannya menjadi tidak tenang. Kalimat yang terlontar dengan isakan pelan itu bagai momok menakutkan yang terus menghantui Jaemin. Bahkan mungkin, dia masih hafal dengan jelas setiap kata yang diucapkan sijeuni-nya.
Jaemin merasa... khawatir? Iya. Jaemin jelas khawatir, dia tidak ingin terjadi apa-apa pada sijeuni-nya. Renjun dan Jeno bahkan tidak henti-henti meyakinkan Jaemin bahwa sijeuni itu pasti baik-baik saja, dia hanya sedang sibuk dengan urusan kuliahnya.
Namun lagi-lagi, Jaemin tidak mendengarkan itu. Dia masih tetap pada pendiriannya, yaitu mengunjungi cafe itu setiap hari. Hanya untuk memastikan apakah ada sijeuni-nya di sana atau tidak?
Namun lagi-lagi, jawaban yang didapat Jeno dan Renjun pada saat Jaemin pulang hanya lah, 'tidak'.
Jeno memposisikan badannya menghadap ke arah Jaemin, "Udah deh Jaem, stop. Lo itu juga sibuk. Lo dan dia punya kesibukan masing-masing. Setiap hari lo harus latihan, dan pulangnya lo nyempetin buat ke cafe itu. Ayolahh, gue tahu lo capek."
Hening. Yang diajak berbicara hanya diam, sorot matanya memandang lurus ke depan dengan kosong. Seperti tidak tahu harus menanggapinya dengan apa. Tidak tahu harus bagaimana.
"Gini deh. Motif lo kesana itu buat apa? Padahal udah jelas-jelas lo tau hasilnya. Gue yakin seratus persen kalo dia nggak bakal kesana lagi," sahut Renjun.
"Gue cuma pengen tahu kondisinya sekarang gimana? Gue takut terjadi sesuatu sama dia... sampe nggak ada kabar kayak gini." jawab Jaemin, dengan suara lirih. Lebih tepatnya seperti orang yang sedang putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Korea | Na Jaemin
Fanfiction"Inginku hanya satu, memilikimu. Meski kenyataannya mustahil, karena kamu di sana adalah bintang dan aku di sini hanyalah satu di antara banyaknya ilalang yang berharap bisa menggapai mu." - Teruntuk Na Jaemin