Pajangan Usang

35 8 6
                                    



Ketenangan hati seorang suami, bukankah harusnya ada dalam naungan seorang wanita— istrinya? Namun, peranku di sini tidak begitu. Aku hanyalah istri yang tak pernah dianggap, status pernikahan tak lebih hanya sekedar janji sakral di atas kertas, juga ijab kabul yang terucap lembut dari bibirnya hanya sekadar paksaan. Entah dengan cara apa agar suamiku mau membuka hati, paling tidak menerima, jika kini kami adalah dua insan yang disatukan.

"Cintai aku, Mas," lirihku yang pasti tak mungkin dia dengar. Acapkali kami tidur bersama, tetapi dia lebih memilih memunggungiku.

Semua sudah berjalan cukup lama. Lima bulan lalu orangtuanya datang melamarku, seminggu kemudian kami menikah. Namun, hingga kini masih seperti dua orang asing yang tinggal serumah. Mas Ikmal seolah menyibukkan diri di luar dan hanya pulang ketika waktu sandekala—menjelang Magrib. Setelah itu dia akan duduk di depan komputer atau bermain ponsel sampai larut, dan ke kamar jika aku sudah tertidur.

Aku hanya bisa menerima sikap dinginnya, bukan tak ingin berusaha —itu sudah berkali-kali. Namun, dia tetap tak acuh, bahkan kadang dia hanya menanggapi ucapanku dengan tatapan kaku lalu membuang pandang, seolah begitu jengah melihatku. Seperti pagi ini, dia sudah duduk di meja makan dengan piring berisi tinggal separuhnya.

"Jangan lupa minum air putih yang banyak." Kusodorkan segelas untuknya.

Dia hanya mengangguk dan tetap fokus pada makanan di depannya sampai tandas, tanpa menoleh sedikit pun.

"Mas, nanti aku minta izin ke rumah Mama, ya?"

Sejenak dia memandang, lalu menghela napas. Seolah begitu berat ingin mengatakan sesuatu.

"Boleh, tapi ingat tak usah banyak bicara tentang pernikahan kita," titahnya sedikit membuatku merasa tak enak. Pasti dia khawatir aku akan mengadu yang tidak-tidak.

"Insyaallah," ujarku, lalu tersenyum sebagai tanda senang hati karena dia sudah memberi izin.

Usai sarapan dia langsung berangkat kerja memakai sepeda motor vespa warna biru yang terlihat sangat antik juga helm vintage dengan kaca cembung. Menurutku itu membuatnya unik dan menarik. Mas Ikmal itu tampan terlebih dengan tubuhnya yang tinggi tegap. Sayangnya dia itu terlalu kaku,  meski dia tak keberatan sebelumnya kucium tangannya, tetapi tak pernah dia membalas sekalipun dengan kecupan di kening seperti yang kuharapkan.

Legowo, mungkin itu satu-satunya yang bisa kulakukan. Menjalani dengan tetap sabar dan berlapang dada. Aku tahu sekeras-kerasnya batu jika terus dihujani dengan tetes air saja bisa lapuk dan melunak. Apalagi lagi sebongkah hati yang dimiliki manusia. Hati itu tempat penampung rasa—sementara rasa itu banyak. Aku kira akan lebih mudah mengubahnya. Semoga sikap keras dan dinginnya itu bisa berubah menjadi sosok yang penuh kelembutan.

Aku akan menunggu, Mas! Sampai tiba waktunya—di mana aku menjadi wanita penenang untukmu. Menjadi pendengar yang baik, kala esok kau sudah mau bicara dan berujar lebih cerewet. Naungan untukmu menyimpan semua keluh-kesah dan resah, yang mungkin untuk saat ini kau masih menyimpannya sendiri. Sabar ibarat menanam sebuah biji, aku akan merawatnya sampai tumbuh membesar, berbunga, lalu berbuah.

***

Dengan hati-hati kulewati jalanan yang berlubang penuh genangan air. Langkah demi langkah menyusur gang sempit menuju rumah Mama. Sengaja tak naik ojek ataupun angkot. Hanya sekadar ingin merasakan tetes gerimis yang masih menitik ke bumi. Harusnya menjadi anugerah, tetapi jika berlebih justru menjadi musibah. Pikirku dulu, saat banjir sering datang di musim penghujan, membuat rumah Mama terendam.

"Roh ... Rohmah! Kok, hujan-hujanan?" teriak Mama dari teras yang langsung sadar dengan kedatanganku, padahal masih di jalan depan rumah.

Semakin mempercepat langkah dan berhenti di hadapannya aku mengulurkan tangan lalu meraih tangan Mama dan menciumnya takzim. Rasanya rindu sekali, hampir sebulan tak main ke sini.

Qothrotur Rohmah ( Setetes Kasih Seorang Istri )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang