Part7

2 1 0
                                    




"Oalah, Roh! Istri pegawai beli baju kok di pasar! Mbok iya ... di toko yang mahal gitu, biar tampak status sosialnya meningkat. Ini, kok, kayak jaman dulu ajah waktu hidupmu masih susah!" Yu Ratmi langsung berlalu tanpa melihat atau pun mendengar balasanku lagi.

Ada rasa nyeri juga sakit hati yang tiba-tiba terasa. Yu Ratmi kalau ngomong memang asal ceplos saja, meski kalau dipikir-pikir ada benarnya juga, sih. Emang aku ini siapa? Istri pegawai yang tak dianggap! Jangankan untuk beli baju mahal, minta untuk kebutuhan sehari-hari pun aku merasa sungkan. Kalau tak diberi lebih dulu, enggan aku memintanya.

"Mbak, ini bajunya!" Ibu penjual baju menyodorkan baju yang sudah dimasukkan dalam kantong plastik.

Segera aku membayarnya, lalu pergi. Ada banyak tugas rumah yang belum dikerjakan. Baiknya memang aku langsung pulang, dengan kembali mengayuh sepeda. Andai saja punya motor lain, mungkin bisa kugunakan untuk bepergian. Sayangnya Mas Ikmal terlalu mencintai vespa, sampai untuk membeli yang lainnya pun tak pernah dia pikirkan, atau memang sengaja dia hanya ingin menggunakan sesatu untuk dirinya sendiri tak pernah memikirkanku sedikit pun.

Sampai depan rumah aku langsung mengembalikan sepeda ke yang punya.

Pakaian Mas Ikmal sudah menumpuk, belum kusetrika dan di luar pun masih banyak yang belum kering. Dia itu boros banget pakai baju sehari bisa ganti tiga sampai empat kali. Lebih menyebalkannya lagi semua yang sudah bersih harus disetrika dulu sampai licin, kalau tidak ... dia akan marah dan enggak mau pakai.

Satu per satu baju sudah terlipat rapi dalam keranjang. Namun, tanganku berhenti ketika akan menyetrika celana kain hitam milik Mas Ikmal.

Kutemukan kertas struk berbentuk segi panjang kecil yang dalamnya berisi pembelian tas juga sepatu. Kalau dilihat dari mereknya seperti brand khusus wanita dengan harga yang fantastis, sangat mahal menurutku. Tanggalnya satu minggu yang lalu, apa Mas Ikmal beli untuk ibunya? Karena kalau untukku itu tidak mungkin, atau jangan-jangan di beli untuk ...? Ahh, sudahlah aku tak ingin suuzon. Kumasukkan kembali kertas struk ke dalam saku celana Mas Ikmal.

Setelah semua selesai, aku membawa keranjang baju ke kamar, ingin menatanya ke dalam lemari. Namun, baju Mas Ikmal yang kemarin sudah rapi, kini terlihat begitu berantakan. Pasti dia mengambilnya asal, membuat tumpukan jadi berantakan. Mau tak mau aku mengeluarkan semua isinya untuk dilipat kembali.

Lagi-lagi aku menemukan lembaran kertas yang Mas Ikmal sembunyikan di bawah tumpukan baju, tetapi yang ini bukan kertas struk, melainkan foto.

Sejenak aku terpaku melihatnya, satu lembar yang berisi beberapa gambar kotak-kotak kecil sepertinya ini hasil potretan di foto box. Mas Ikmal bersama dengan seorang gadis, salah satu foto ada yang memperlihatkan gadis itu memegang paper bag berisi tas dan sepatu dengan ekspresi seolah takjub dan senyum mengembang. Jadi, Mas Ikmal membeli tas dan sepatu untuk gadis itu?

Miris! Bukan hanya itu saja yang membuat hatiku terasa panas, tetapi karena foto yang lain--Mas Ikmal berpelukan, juga gadis itu mencium pipinya.

Aku membekap mulut untuk menahan isakan. Rasanya bukan sakit lagi, tapi nyeri dan panas seolah menjalar ke seluruh tubuh. Apa ini yang namanya cemburu, sayangnya tak punya hak untuk menuntut? Kami memang suami-istri, tetapi memaksakan hati bukanlah hakku.

Sadar diri, Rohmah! Sejak awal Mas Ikmal memang tak menyukaimu.

Tettt! Suara klakson dari luar terdengar begitu kencang, seolah sengaja menekannya keras. Segera aku membereskan baju, dan menyimpan foto itu di dalam tas.

Aku mengusap jejak basah di pipi agar tak terlihat bekasnya. Mencoba mengenyahkan sejenak tentang foto itu, bergegas menuju ke depan. Terlihat mobil Bapak Mertua sudah ada di halaman. Ibu keluar lalu menghampiriku.

Qothrotur Rohmah ( Setetes Kasih Seorang Istri )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang