"Mencintaimu itu berat, ya, Mas?!" lirihku menghadap keluar jendela dengan senyum miris.
Mas Ikmal seolah bungkam, dia tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku menoleh, kini tatapan kami bertemu. Semakin dalam melihat sorot mata itu, membuatku begitu perih. Mengingat sikapnya selama ini, juga semua yang sudah kami lewati tanpa arti sedikit pun.
"Jangan jadikan aku lelaki kejam, Roh! Harus berapa kali aku katakan tidak menyukaimu? Apa kata-kata itu masih tak membuatmu merasa sakit, dan sadar untuk tidak mencampurkan hati di hubungan kita? Kau paham maksudku 'kan?"
Aku menggeleng pelan, mana mungkin bisa begitu.
"Lalu pernikahan kita?"
"Hah, ayo lah, Roh! Tidak ada yang bisa diharapkan dalam hubungan ini."
Aku mengembuskan napas pelan, rasanya badan semakin lemas. Mendengar ucapan Mas Ikmal justru membuatku semakin down. Ada amarah yang kutahan, karena tak mungkin menumpahkannya sekarang. Lagi-lagi aku terdiam, tak ingin mendengar ucapan Mas Ikmal yang semakin membuat dadaku begitu bergemuruh dan sesak!
Memejam dengan memalingkan wajah menghadap ke jendela, tanganku menyilang ke dada rasanya begitu dingin karena AC menyala. Sudah kucoba untuk sejenak mengenyahkan pikiran yang menjadi beban. Namun, tak bisa--bayangan Mas Ikmal bersama wanita lain, juga omongan-omongan yang meremehkanku terus saja berputar-putar seolah tak memberiku sedikit kesempatan untuk berpikir jernih dan mencari solusi.
"Kau pusing? Apa belum makan?"
Hening.
"Roh?"
Rasanya bibir begitu kaku, juga tak ada niat untuk menjawab pertanyaannya.
"Rohmah! Kau bisa bicara 'kan!" sentak Mas Ikmal, tangannya meraih wajahku agar menoleh padanya.
Air mata tiba-tiba luruh tanpa bisa kubendung.
"Roh--mah ... Ish aku benci dengan air mata!" Mas Ikmal mendengkus. Namun, tangannya beralih menarik kepalaku agar bersandar di dadanya.
Sesaat aku terisak, tetapi ada senyum yang kusembunyikan, untuk pertama kalinya Mas Ikmal mau menjadi tempatku bersandar, seolah memberi perlindungan dan kenyamanan yang selama ini tak pernah kudapatkan.
"Menangislah, tapi janji kalau nanti ada Ibu--kamu diem!" Entah itu semacam permintaan atau ancaman, tetapi terdengar manis!
Aku menyeka air mata, masih dengan bersandar, meski tangisku sudah terhenti.
Cukup lama, entah berapa menit yang kami lewati dengan posisi seperti ini, rasanya tak ingin beranjak. Tangan Mas Ikmal mendekap dan mengusap pelan punggungku, sementara dagunya dia tempelkan di kepalaku.
"Belum selesai, Roh? Aku mulai pegel nih ... baju juga udah basah gara-gara air matamu, jangan ditambahin ingus!" celetuk Mas Ikmal seolah merusak keromantisan. Namun, membuat suasana kaku jadi cair, aku tak lagi muram justru ingin ketawa dibuatnya.
Ada setitik rasa lega.
"Kenapa? Toh, aku yang nyuci tiap hari! Lihat tanganku kasar sekali!" Aku bergurau lalu membuka telapak tangan di depannya.
"Oalah, kasian, Rohmah! Besok beliin mesin cuci, Mal!" Tiba-tiba kepala Ibu menyembul dari luar jendela membuat Mas Ikmal terkejut.
Mas Ikmal sedikit bergeser, lalu tersenyum-senyum kecil atau lebih tepatnya cengengesan di depan Ibunya. Siapalah Mas Ikmal, bisa dikatakan hanya seorang anak kecil yang selalu nurut meski kadang menggerutu di belakang.
"Besok Ikmal beliin, ya, Roh! Udah gitu ajah nangis. Cep ... cep!" Mas Ikmal mengusap-usap kepala yang tertutup kerudung sembari mengedipkan mata ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qothrotur Rohmah ( Setetes Kasih Seorang Istri )
RomanceKetenangan hati seorang suami, bukankah harusnya a da dalam naungan seorang wanita--sebagai istrinya? Namun, peranku di sini tidak begitu. Aku hanyalah istri yang tak pernah dianggap, status pernikahan tak lebih hanya sekedar janji sakral di atas...