Perintahnya membuatku tercengang, tetapi sesaat kemudian tangan kirinya menarikku masuk, lalu pintu ditutup. Kalau boleh jujur aku begitu gugup, meski sudah jadi istrinya tetapi belum pernah melihatnya mandi. Apalagi aku yang melepas bajunya, mau buka mata malu dan canggung, kalau tutup mata … lubang kancing tak bisa dilihat.
"Ish! Pelan-pelan, Roh! Tanganku sakit," rintih Mas Ikmal saat aku tak sengaja menyenggol tangannya.
"Maaf, Mas! Ini pelan, kok! Sudah, ya, kamu mandi sendiri, aku keluar saja. Toh, tangan kiri masih bisa digunakan untuk ambil gayung!"
Aku langsung keluar membiarkan Mas Ikmal mengguyur tubuhnya, tak kuat jika berada sedekat itu dengannya. Detak jantung tak beraturan terlebih jadi salah tingkah.
Sembari menunggunya selesai, aku ke dapur untuk menghangatkan makanan. Lauk kesukaan Mas Ikmal, sayur sop ditambah ikan asin dan sambal. Hem … aroma sop menguar saat air mulai panas dan mengepul.
"Roh, bantu aku!" Mas Ikmal datang, sudah memakai celana, tangannya menyodorkan baju ke arahku.
"Sini, Mas. Apa sesakit itu?" Usil aku menyenggol tangan kanannya yang sedari tadi menekuk.
Dia langsung meringis kesakitan dan mengerang seolah begitu nyeri, terlihat tangannya mulai bengkak. Bergegas aku membantunya memakai baju lalu kusuapi. Dia hanya diam dan membuka mulut saat sendok tersodor ke mulutnya. Tangan kiri Mas Ikmal tak mau berhenti memenggang dan menekan-nekan yang bengkak.
Jadi khawatir dengan keadaan Mas Ikmal aku menelepon Bapak mertua agar mau ke sini dan mengantar Mas Ikmal ke dokter. Tak lama ada mobil sedan hitam yang berbelok dan berhenti di halaman. Aku keluar melihat yang datang Bapak atau bukan, ternyata dia menyuruh sopirnya ke sini.
Membujuk Mas Ikmal ke dokter ternyata cukup sulit, dia terus saja menolak. Namun, saat kutakuti tangannya bisa saja semakin parah dan diamputasi, seolah begitu gugup dan khawatir dia langsung berdiri dan berjalan masuk ke mobil. Dih, dasar lelaki dewasa yang kekanakan! Memang harus ditakutin dulu baru mau.
Kami sama-sama duduk di jok belakang. Melihat ke arah jendela di luar sudah gelap dan hujan gerimis masih belum berhenti. Sopir mengarahkan mobil ke klinik dokter umum, setelahnya aku masuk bersama Mas Ikmal. Di sini tidak mengantre, bahkan terbilang cukup sepi.
Aku menunggu di luar, sementara Mas Ikmal ke ruangan sendiri. Cukup lama, entah apa saja yang diperiksa, tetapi mulai terdengar suara gaduh dan teriakan Mas Ikmal. Penasaran aku langsung mendorong pintu membuatnya sedikit terbuka, khawatir jika di dalam Mas Ikmal dijadikan malapraktik.
Namun, dugaanku salah, Mas Ikmal terlihat sedang tengkurap di ranjang pasien sembari menutup mata, sementara dokter memegangi jarum suntik."Aaa ... Mmm!" Mas Ikmal berteriak lagi saat dokter mulai menempelkan jarumnya ke pantat.
"Tenang, Mas. Ini belum mulai, ya, enggak sakit, kok, cuma kayak digigit semut," ujar dokter.
Tak tahan melihatnya aku kembali menutup pintu rapat. Ahhh, lebih tepatnya tak tahan karena ingin tertawa. Ya ampun, apa Mas Ikmal takut jarum suntik? Ish aneh sekali.
Cukup lama aku menunggu sambil melihat-lihat sekeliling klinik yang bangunannya gabung dengan rumah pribadi si dokter. Kalau di sini rumah sakit memang agak jauh, paling tidak harus ke pusat kota. Perjalanan sekitar satu jam setengah memakai kendaraan bermesin. Makanya warga lebih suka berobat ke klinik dokter ataupun puskesmas.
Kalau siang, pasti sangat sejuk karena banyak tanaman yang membuat rumah ini terlihat asri. Terlebih dengan beraneka bunga yang terawat, enak dipandang. Jadi kepikiran depan rumahku masih kosong, kalau dibuat taman kecil pasti bakal mempercantik tampilan, ditambah kolam kecil untuk ikan.
Jalan setapak menuju rumah dihias dengan batu-batu kecil warna-warni, juga dipasang lampu temaram seperti lampion di pinggirnya, pasti tampak begitu indah terlebih dengan rumah yang menghadap ke persawahan. Kala senja menyapa, akan tampak seperti tempat yang sangat romantis. Rumah adalah surga kita, andaikan penghuni di dalamnya juga rukun dan saling mengasihi. Aku yakin, akan tercipta keluarga sakinnah, mawadah, warahmah dari rumah sampai ke jannah. Aih, so sweet!
Masih asyik pikiranku membayang-bayang, tetapi harus segera diakhiri karena Mas Ikmal datang dan langsung mengajak pulang. Di dalam mobil dia hanya terdiam, dengan raut ditekuk.
"Kenapa, Mas? Masih sakit? Apa perlu ke dokter ortopedi?" tanyaku mengawali pembicaraan.
"Enggak, kata dokter tadi cuma cidera ringan doang, bentaran juga sembuh," ketus Mas Ikmal sembari memejamkan mata.
"Ohhh … aku kira masih sakit banget, aku denger tadi kamu teriak-teriak di dalam," sindirku dengan tangan menutup mulut menahan tawa ingat kejadian tadi.
"Oalah, Mas Ikmal itu kan takut jarum suntik, Mbak. Mungkin di dalem dokternya mau nyuntik kali," timpal pak sopir, ternyata sedari tadi menyimak pembicaraan kami.
"Masa, sih, Pak? Kayak anak TK dong!"
"Udah, deh, enggak usah dibahas!" Mas Ikmal menoleh ke arahku dengan tatapan sinis.
"Nah, itu … dia ngambek, tuh. Jangan kaget, Mas Ikmal emang kayak gitu, Bapak udah kerja hampir dua puluh lima tahun sama keluarganya. Bahkan waktu Mas Ikmal masih kecil ...."
"Pak Karso!" bentak Mas Ikmal tatapannya seolah mengancam agar Pak Karso diam.
Kalau boleh jujur ekspresi Mas Ikmal sangat lucu seperti anak kecil ngambek, tetapi aku hanya diam tak ingin menanggapi pak sopir, takutnya Mas Ikmal semakin marah padaku karena merasa harga dirinya turun.
"Iya, Mas. Santai ajah, Bapak diem, nih." Pak Karso terkekeh.
Baru kali ini aku bertemu orang seperti Mas Ikmal, dia itu sudah dewasa malah termasuk pria matang, tetapi manja. Apa karena dia anak tunggal? Mungkin Ibu terlalu memanjakannya. Jadi, apa aku bisa mengubah sikapnya itu? Entahlah! Ini adalah tantangan terbesar selain harus merebut hatinya.
Sampai rumah, pak sopir langsung pamit pulang tanpa mampir terlebih dahulu. Mas Ikmal yang sedari tadi memang sudah terlihat kusut dan lelah langsung berbaring di kamar. Kalau aku belum ngantuk, lebih baik ke ruang tengah dan nonton film, meski sebenarnya pikirinku agak kalut mengingat kembali permintaan Mas Ikmal tadi siang, dia mau menikah lagi. Apa itu memang terniat dalam hatinya? Kalau iya, apa yang harus kulakukan?
Entahlah … memikirkannya membuatku pusing, Mas Ikmal memang terlalu tega. Apa menghargai perasaanku itu terlalu sulit? Andai saja dia bukan suami dan hati juga belum terlanjur untuknya, mungkin aku akan memilih pergi. Sayangnya ini sebaliknya, bukankah sebagi istri aku memiliki tugas untuk mempertahankan rumah tangga? Juga memiliki hak untuk dicintai? Aku tak 'kan menyerah. Lihat seberapa keras aku akan berusaha!
Menjadi pantas dengan menjadi wanita berpendidikan mungkin akan membuatnya bisa mempertimbangkan. Aku ingin kuliah jurusan kesehatan, apa aku masuk sekolah keperwatan saja? Mungkin saja nanti selain bisa membantu mengobati orang lain, juga bisa membantu Mas Ikmal terlelas dari traumanya sama jarum suntik.
Ya, sebaiknya aku menerima tawaran Ibu Mas Ikmal untuk kuliah. Bukankah katanya tempatnya tak jauh dari kantor Mas Ikmal? Aku bisa sekalian memata-matainya.
Tak ingin membuang waktu, aku bergegas menuju kamar, pelan membuka pintu agar Mas Ikmal tak terganggu. Kubuka lemari lalu mencari berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar. Namun, tak sengaja menjatuhkan tumpukan buku, membuat suara gaduh yang membangunkan Mas Ikmal.
"Kau sedang apa, Roh?" tanyanya mengerjap lalu terduduk dengan bersender di kepala ranjang.
"Maaf, Mas. Aku sedang mengumpulkan berkas untuk mendaftar kuliah." Tanganku cekatan merapikan kembali buku yang berserak.
"Kau jadi daftar ke UT? Mau ambil jurusan apa?"
"Iya, Mas, aku tertarik dengan tawaran Ibu. Aku ingin daftar jadi perawat?"
"Perawat? Mana ada jurusan itu di UT! Rohmah ... Rohmah, bodoh boleh tapi jangan gaptek! Kau kan bisa searching dulu. Ck!"
"Apa iya? Maaf, Mas. Rohmah pengen kuliah di—" Belum selesai bicara Mas Ikmal memotong.
"Okey, aku bisa bantu carikan universitas kalau kamu memang mau ambil keperawatan, juga mengurus semua kebutuhanmu, tapi kau bisa kasih apa untuk membayarnya?"
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Qothrotur Rohmah ( Setetes Kasih Seorang Istri )
RomanceKetenangan hati seorang suami, bukankah harusnya a da dalam naungan seorang wanita--sebagai istrinya? Namun, peranku di sini tidak begitu. Aku hanyalah istri yang tak pernah dianggap, status pernikahan tak lebih hanya sekedar janji sakral di atas...