Witing Tresno Jalaran soko Kulino

17 5 2
                                    

"Maaf, Mas. Aku pun tak sengaja, tadinya ingin pulang karena sudah sore dan itu membuatku terburu." Aku mengubah posisi dengan duduk, sembari melihat ke arah tangan Mas Ikmal. Sesekali meringis kesakitan, saat kaki di tekan di bagian yang terkilir.

Dia tak lagi menanggapi balasanku, hanya melirik lalu menggelengkan kepala dan menarik sudut bibirnya. Bukan tersenyum, tetapi seperti mencebik. Meski ekspresinya begitu, tak masalah, tetap saja ada rasa senang menelusup dada tatkala melihatnya perhatian begini.

"Sudah tidur lagi, gih," titahnya setelah memijat. Dia tak ikut berbaring di sampingku, tetapi memilih kembali keluar.

Niatnya aku ingin kembali tidur, tetapi rasanya tak tenang. Bahkan berganti-ganti posisi tak pula membuatku nyaman. Ada rasa penasaran apa yang sedang Mas Ikmal lakukan. Ini aneh! Meski dia tak pernah berlaku hangat, tapi aku pun tak bisa bohong kalau hati ini sudah memasukkan namanya dalam daftar orang untuk dicintai. Sebelumnya aku tak begini, lelaki kaku dan dingin bukanlah tipe idaman. Namun, semenjak hidup bersamanya semua berubah.

Witing tresno jalaran soko kulino, mungkin ini yang disebut oleh pitutur jawa. Kalau cinta bisa datang karena terbiasa—bertemu, tapi kenapa itu tidak terjadi pada Mas Ikmal? Dia seolah tak bisa mencintaiku, apa memang sulit atau aku bukan tipenya? Entahlah!

Tak ingin gundah, baiknya melihat sedang apa Mas Ikmal sekarang. Meski sedikit terpincang kupaksakan untuk berjalan, sebenarnya sudah agak mendingan. Hanya sedikit nyeri di pergelangan kaki.

Beberapa lampu sudah dimatikan hanya di ruang tengah juga dapur yang terlihat masih menyala. Terlihat Mas Ikmal sedang bermain gawai sambil sesekali tersenyum. Itu manis, hanya saja apa yang membuatnya begitu? Belum sampai mendekat, terdengar dering dari benda pipih di tangannya, membuatku urung menghampiri Mas Ikmal.

"Waalaikumsalam, enggak kok santai ini. Kamu lagi apa? Awas, loh, jangan begadang," jawab Mas Ikmal sembari mendekatkan ponsel ke telinga.

Entah di seberang sana siapa yang menelfon dan bilang apa, yang pasti Mas Ikmal terlihat begitu antusias dan senang. Ekspresi yang belum pernah dia tunjukan untukku.

(...)

"Ya enggak lah ... tenang ajah dia udah tidur. Aku enggak pengen mikirin itu, terlalu ribet dan membuatku pusing. Toh, tanpa cinta juga rumah tangga ini tetap berjalan. Aku tak menyukainya!"

Apa Mas Ikmal sedang membicarakanku dan pernikahan kami? Siapa yang tidak dia sukai? Apakah itu aku?

(...)

"Dia kurang menarik dan tak agresif, sudah bisa kutebak dengan mudah aku bisa membuatnya jatuh cinta, tapi tak kulakukan. Biarlah dia yang berusaha menjaga dan merebut hati. Kalau tanpa perhatian dia bisa tetap bertahan dan justru membuatku mencintai ... itu baru hebat!"

Allah, apa sebenarnya yang sedang Mas Ikmal bicarakan? Pada siapa dia sedang mengolok dan membicarakanku? Apa dia tak punya malu? Hal sesensitif itu dia jadikan guyonan? Lantas mana yang disebut pasangan itu laksana pakaian untuk pasangannya? Dia justru seolah merendahkanku sebagai istrinya.

Tak ingin lagi mendengar pembicaraannya aku berbalik, tetapi hadirku lebih dulu disadari oleh Mas Ikmal. Tatapan kami bertemu, dia seolah begitu kaget, sementara aku menatap pilu. Yah, karena akulah orang yang tidak dia sukai, akulah yang tak menarik dan tak agresif! Dan aku pula wanita bodoh yang dengan begitu mudah mencintai.

Tetes bening tak mampu lagi kubendung, lolos begitu saja. Memilih berbalik dan berjalan lagi dengan tertatih. Jangan  tanya seperti apa rasanya patah hati sebelum merasakan indahnya mencintai. Ini sakit, tapi tak berdarah! Apa aku harus sadar diri? Jadi ... wanita seperti apa sebenarnya diriku, sehingga Mas Ikmal merendahkan seperti ini?

Hah, harusnya dari awal tahu posisi. Kepahitan yang paling pahit itu memang berharap pada manusia, aku pun membenarkan itu. Terlalu tinggi angan bisa membuat Mas Ikmal jatuh cinta. Nyatanya ini justru membuatku terjatuh dan terperosok dalam lembah kekecewaan.

Terpekur di tepi ranjang, ada rasa down dan tak lagi percaya diri bisa mengubah dan membuat Mas Ikmal memiliki rasa yang sama sepertiku—cinta. Namun, di balik keterpurukan, harusnya aku pun tak putus asa. Bukankah sejatinya Zat yang mampu membolak-balikan hati itu Allah? Di luar batas kemampuanku, setelah berusaha dan berdoa maka yang terakhir adalah memasrahkan.

Masih terdiam sampai kusadari gagang pintu bergerak seolah ada yang akan mendorongnya. Bergegas mengusap wajah yang basah karena peluh juga air mata, lalu berbaring dan pura-pura terpejam.

Suara decit ranjang terdengar saat tubuh Mas Ikmal berbaring di sampingku. Sesaat dia mendekatkan wajah, seolah sedang mengecek aku tertidur atau belum.

"Kita menikah karena terpaksa bukan? Sejak awal aku pun tak pernah bilang akan menyukaimu. Jadi, jangan marah saat mendengar ucapanku tadi."

Hening, aku memilih terdiam dan masih memejam. Kalau boleh jujur ucapannya semakin menambah perih. Dia terlalu terang-terangan. Apa sengaja ingin membuatku sakit? Kalau iya--dia sukses melakukannya.

"Aku tahu kamu belum tidur."

"Roh?"

"Rohmah? Jangan pura-pura tidur." Dia menggoncangkan pundakku.

Kupaksakan untuk membuka mata dan tersenyum menutupi keadaanku yang sebenarnya terasa mengenaskan. Itu adalah kekuatan, meski di kala sulit, sakit, dan terhimpit senyumku tak boleh menghilang.

"Kau bicara apa, Mas?" Pura-pura tak mengerti dengan apa yang dia katakan mungkin lebih baik. Ketimbang harus mengakui tahu dan itu membuatku semakin kecewa dengan sikapnya.

"Bukannya tadi kamu dengar apa yang kukatakan di telepon?"

Aku menggeleng. "Kau bicara dengan siapa? Apa Ibumu? Dia tak rindukah kita tak pernah mengunjunginya?" tanyaku seolah membodoh dan mengalihkan pembicaraan.

Sesaat Mas Ikmal terbengong, lalu kembali menatapku. Entah dia menujukan ekspresi malu atau apa—yang pasti wajahnya memerah.

"Iya, besok kita nginep di rumah Ibu," balasnya sinis dan tak lagi melanjutkan tentang pembicaan di telepon.

"Besok? Emang kamu libur, Mas?"

"Ya ampun, Roh, kamu pikun! Sabtu-minggu kan libur."

"Oh iya, Mas. Maaf aku lupa, emang kalo kerja di bank pulangnya sore terus ya, Mas?" Akhirnya kata itu terlontar—kata yang selama ini sungkan untuk kutanyakan.

Mas Ikmal mendengkus, seolah begitu tak suka.

"Kenapa emang?" Tak membalas dia justru balik bertanya.

"Mmm ... enggak apa-apa, sih, maaf kalo Mas enggak berkenan."

"Udahlah, aku mau tidur." Mas Ikmal langsung beralih memunggungiku.

Secepat itu dia tertidur? Ya ampun, padahal aku saja masih belum bisa tenang untuk memejam. Memikirkan hal tadi membuatku curiga, sepertinya Mas Ikmal sengaja bersuara keras saat bicara di telefon, buktinya dia memastikan aku dengar atau tidak. Mungkin dia memang ingin agar aku mendengarnya, tetapi untuk apa dia lakukan itu?

Malam semakin larut, aku pun memutuskan untuk ikut tertidur agar besok bisa bangun pagi.

***

Sesuai harapan, bahkan terbangun kala azan Subuh belum berkumandang. Mas Ikmal juga masih tertidur, posisinya kini miring menghadap punggungku. Pelan aku pun mengganti posisi miring ke arahnya, sekadar ingin melihat wajah Mas Ikmal lebih dekat. Hidungnya mancung sedang, alisnya tebal datar, sementara bulu matanya panjang, berbeda dengan kebanyakan orang, mungkin karena bola matanya yang sedikit belo. Kulitnya kuning langsat dan rambutnya coklat lemas.

Aku tahu usianya sudah berkepala tiga, tetapi tetap tampan. Apalagi dengan tubuh yang tinggi sedang juga tegap berotot. Kalau orang jawa bilang Mas Ikmal iki ngganteng—kewes, memakai apapun luwes—pantes. Aku setuju dengan Mama yang sering memuji Mas Ikmal.

Pelan aku mengarahkan telunjuk ke keningnya, lalu turun ke bawah mengikuti lekuk hidung. Ahhh, manis sekali, tak sadar senyumku merekah. Seolah benar-benar memiliki Mas Ikmal seutuhnya.

"Kau sedang apa?!"

Bersambung ...

Qothrotur Rohmah ( Setetes Kasih Seorang Istri )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang