"Jadi, kapan kalian akan memberi Bapak cucu?"
Pertanyaan Bapak membuatku dan Mas Ikmal saling berpandangan, begitu gugup sampai membuatku terasa sulit menelan ludah.
"Halah, Bapak ini, mereka kan baru berapa bulan menikah. Lagian Rohmah masih muda, biarlah mereka menikmati masa ehem-ehem dulu, ya, 'kan?" timpal Ibu lalu mengedipkan mata ke arah kami.
"Iya, Bu, bener banget." Mantap Mas Ikmal berbicara, sementara aku hanya tersenyum.
"Usiamu berapa, Roh?" tanya Ibu dengan serius sembari menuang air putih ke gelas.
"Aku ... mmm dua puluh, Bu."
"Tuh kan masih muda banget, Rohmah kan baru satu tahun ya lulus sekolah? Gimana kalo kamu lanjut kuliah saja?"
Aku tertegun dengan ucapan Ibu yang menawari untuk kuliah. Lalu bagaimana dengan Mas Ikmal? Aku menoleh ke arah Mas Ikmal yang berdeham.
"Nah, itu Ibu tahu. Kenapa dulu suruh nikah sama Ikmal yang udah dewasa," gumam Mas Ikmal sembari tersenyum miring.
"Ikmal! Kenapa bilang gitu, Rohmah itu sekalipun lebih muda, tapi kan sikapnya dewasa. Enggak kayak kamu yang justru kekanakan!" bela Ibu. Bapak hanya terdiam melihat istri dan anaknya saling berdebat.
"Sepertinya lima bulan menikah kalian belum bisa akur, ya? Ya udah gini ajah, Bapak setuju jika Ibu ingin Rohmah lanjut kuliah, tapi syaratnya di Universitas Terbuka saja, yang deket sama tempat kerja Ikmal itu," ujar Bapak.
"Ta–tapi, Pak—"
"Enggak tapi-tapian, Mal! Bulan ini langsung daftarin istrimu biar bisa langsung masuk kuliah. Jangan lupa, karena di UT itu santai tidak harus masuk tiap hari, 'kan? Bahkan bisa secara online, ya? Rohmah bisa dihamilin dulu," ucap Bapak tegas, tetapi terdengar aneh di belakangnya.
Sama kagetnya sepertiku, Ibu sampai tersedak mendengar ucapan Bapak. Kami bertiga saling berpandangan. Namun, sesaat kemudian Ibu terkekeh sambil manggut-manggut.
"Setuju, Pak! Memang harusnya gitu. Ikmal kan udah masuk kepala tiga, tuh, udah pantes punya dua anak malah."
Mas Ikmal mendengkus kesal, tak lagi berucap sepatah kata pun. Dia hanya menyilangkan tangan ke dada lalu bersandar di kursi.
Setelah percakapan itu Mas Ikmal semakin diam padaku, bahkan kami pun tak jadi menginap. Dia kekeh ingin pulang. Sepanjang jalan hanya terdengar suara kenalpot dari vespa yang kami tumpangi, tidak ada canda ataupun pelukan dari belakang dengan mesra. Aku kaku, bahkan tak punya keberanian untuk itu.
Hah, mungkin inilah namanya cobaan rumah tangga. Ketika memiliki suami baik, mertua atau iparnya yang jadi masalah. Namun, sebaliknya yang terjadi padaku ... orangtua Mas Ikmal bahkan menganggapku seperti anak perempuan sendiri, sementara suamiku, acuh. Miris!
"Aaah!" teriakku spontan saat tiba-tiba Mas Ikmal menarik gas membuatku reflek memeluknya.
Dia hanya diam, tak menolak.
"Dulu berboncengan naik motor bersamanya menjadi hal yang sangat kusuka. Namun, saat posisi itu digantikan olehmu, aku jadi merasa kehilangan!"
Sejenak aku terdiam mencerna ucapan Mas Ikmal. Apa maksud bersamanya itu ... kekasih Mas Ikmal?
"Impianku musnah seketika, saat kau tiba-tiba hadir!"
Air mataku luruh, meski dia bicara dengan nada pelan, tetapi justru sangat menyakitkan. Sadar diri aku menarik tangan, lalu beralih pegangan ke jok motor.
"Maaf, Mas," lirihku sembari menggigit bibir bawah agar tak gemetar.
"Kau tak perlu minta maaf, nasi sudah menjadi bubur. Satu saja pintaku, kau mau kumadu?" Mas Ikmal berhenti di bulakan sawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Qothrotur Rohmah ( Setetes Kasih Seorang Istri )
RomanceKetenangan hati seorang suami, bukankah harusnya a da dalam naungan seorang wanita--sebagai istrinya? Namun, peranku di sini tidak begitu. Aku hanyalah istri yang tak pernah dianggap, status pernikahan tak lebih hanya sekedar janji sakral di atas...