24. Lunatic

40 5 0
                                    

Chapter ini mencakup adegan kekerasan yang tidak dirangkum kemas, terkesan bertele-tele sebab emosi yang terbebang di dalamnya butuh titik temu

Dimohon bijak dalam membaca.🙃🙃

-

-

-

Basah embun pernah bilang bahwa Sojin adalah makhluk paling sempurna di antara semua manusia. Ya, meski gema kalimatnya lebih sering singgah bersama elegi di pagi buta, tetap saja, Sojin adalah yang punya gelar manusia tertampan dari sang ibu yang tak lagi ada di dunia.

Pekat malam juga selalu bilang kalau Sojin akan merasakan nikmat di hidupnya. Semesta memberi Sojin rupa sebagus ini, pun dengan daksa sesehat ini. Resamnya apa lagi, bukan main bagusnya, membuat seseorang atau barangkali malaikat setuju untuk memberi jalan untuknya. Membuat pekat malam berulang kali bertaruh pada gulita tentang seberapa besar kesuksesan yang kelak Sojin dapatkan.

Kemudian distorsi yang dibuat-buat sendiri bertandang ke kehidupan. Alasannya hanya karena Sojin berpikir tentang 'kalau ia bisa mendapatkannya dengan mudah, kenapa harus menempuh jalan yang susah?' Pemikiran sederhana, tapi merupakan awal mula terbentuknya nasib yang ia anggap sialan, yang ternyata penyebabnya adalah dirinya sendiri.

Menjadi penyebab runtuhnya pilar harap yang pernah semesta tanam di relap maniknya. Yang pada akhirnya membawa Sojin lagi dan lagi kembali ke titik di mana ia harus berpikir untuk pergi sejauh mungkin, seraya membawa rahasia yang ingin ia buang dan lupakan. Atau berpikir untuk kembali, kemudian menyelesaikan apa yang pernah ia mulai tanpa harus membuatnya perlahan mati seperti ini. Oh, Sojin mungkin lebih ingin ia dibilang perlahan mati daripada disebut sebagai penderita depresi.

Jika Sojin mati, Fey juga harus mati.

Ini bukan bualan sebab Sojin benar-benar telah memutuskan. Membawa Sojin tenggelam dalam jurang deduksi paling buruk yang pernah ia pikirkan selama ia menaruh benci pada perempuan sintingnya; menghabisi Fey dengan caranya sendiri.

Semesta mungkin tahu bagaimana sakitnya Fey, semesta juga tahu bagaimana luka perempuan itu, semua hal yang bertendensi pada kenestapaan seorang Byun Eun Yeong, Sojin yakin, seluruh semesta mengetahui lewat tangis dan ratap gilanya.

Tapi semesta tidak pernah tahu bagaimana Sojin yang juga mengalami derita. Sojin yang juga menderita melankolia sebab terlalu sering bertarung dengan sisi kemanusiaannya. Sojin memang tak pernah memberi tahu. Malah pria itu sibuk bersembunyi di dalam kisah cintanya bersama Nara yang ia harap akan selamanya berlangsung bahagia, sebab Sojin benar-benar menaruh cinta. Dan mungkin akan menaruh asa yang lebih besar dari dirgantara setelah ia pergi dengan murka, meninggalkan Nara dan adik iparnya.

Pening kepala yang selalu disembunyikan, bisikan setan atau barangkali malaikat yang acap kali membuatnya ketakutan, tidur dengan ketakutan meraja sebab takut barangkali Sojin meracaukan nama Fey di tengah tidurnya. Sungguh. Sojin berhasil mengelabui semesta dengan kesempurnaannya.

Selama ini ia pikir ia berhasil, namun kenyataannya nihil. Sojin sering kali hilang arah di tengah samudera pikirannya. Beberapa kali juga nyaris kehilangan navigasi ke mana ia harus membawa arah intuisinya pergi; membenci Fey yang membuat kacau hidupnya, atau menaruh sesal sedalam-dalamnya sebagai seorang pendosa.

Dan Sojin benci dengan kenyataan ini. Ia bukan orang bodoh. Tapi kenyataan kalau ia ikut menjadi gila karena rasa bersalah yang menyatu bersama benci membuatnya patut menyandang gelar sebagai penderita melankolia juga. Keinginannya untuk terbebas justru terpenjara oleh mariposa; semakin jauh Sojin ingin pergi untuk meraih kebebasan, semakin jauh pula kebebasan itu pergi. Membuatnya berakhir di satu tempat yang sama seperti milik Fey; gila. Ya, meski Sojin ribuan kali menyangkalnya.

OFFERSEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang