29. Rewrite (end)

90 7 0
                                    

Sudah kubilang, selalu ada bahagia di sudut-sudut penantian. Meski tidak utuh, kurasa cukup jika kaulihat itu dari kacamata rasa syukur. Keloid di epidermismu itu sejatinya memang semesta ciptakan sebagai pengingat, bahwa kau juga pernah dijatuhi reruntuk sial yang sesakit itu, lalu kau hebat sebab kau berhasil bertahan di semenjana badai kesakitan.

Selamat. Kau lulus. Kau berhak menerima sertifikat yang semesta tulis langsung di epidermismu. Rawat saja bekas-bekas luka itu. Siapa tahu besok Raja Lautan datang, kemudian ia bilang, 'Kau bebas sekarang. Akan kuberikan semua jenis bahagia yang kauinginkan. Terimakasih telah menjaga lautan luka milikku dengan sangat tangguh. Sekarang kau kutugaskan menjaga awan-awan bahagia milikku sampai kapan pun kau mau.'

🚢

🚢

🚢

.......

-Surat untuk senja. Atau luka. Atau siapa saja yang ingin membacanya.-

'Teruntuk senja, bukankah seseorang pernah bilang bahwa kau tak perlu repot datang jika pada akhirnya kau menghilang? Seseorang juga pernah menulis lektur tentangmu, katanya dia benci tiap-tiap berada di penghujung hari. Dia benci dengan sinar jingga yang kau miliki. Dia juga benci ketika maniknya harus menggiring burung gereja kembali ke sangkarnya. Dan dia benci saat horizon memeluk lembut rona milikmu, seolah kau adalah kesayangan, hingga langit enggan melepaskan.

'Katanya tiap-tiap bersua dan bermandikan rona jingga milikmu, ia hanya akan berakhir di tengah pulau sengap. Ia hanya akan sibuk menghitung detak jantung sendiri, sibuk mengukur seberapa dalam napas yang ia hela, sibuk mencari artian konotasi di dalam kepala dan juga hati, serta sibuk memupuk rindu pada relap bintang yang tak akan pernah mengerti bahasa si penghitung luka.

'Satu kesakitan bertumbuh. Menjadi dua. Dua kesakitan bertumbuh. Menjadi tiga. Tiga kesakitan bertumbuh. Menjadi empat. Kemudian menjadi lima, dan seterusnya. Andai kesakitan dan luka bisa dinilai berdasarkan angka, sudah pasti itu berupa kelipatan satu sampai sekian banyak jumlah yang pernah diperhitungkan manusia. Menempatkan sakit dan luka sebagai hal terkaya yang pernah dimiliki manusia.

'Sebagian mungkin menganggap lukanya berharga. Sebagiannya lagi mungkin menganggap luka adalah sumber derita, hingga mereka memilih untuk mengabaikan, sampai pada akhirnya melupakan. Meski, harus dengan tertatih ketika melakukannya.'

-----

Manik kelincinya mengerjap pelan. Sepasang lentik atas bawah sekali dua kali bergerak rima seiring degup jantungnya –kadang terhenti kalau sedang berpikir keras, kadang berkedip cepat kalau sedang berpikir keras juga—. Bibir tipis yang selalu terlihat ranum bak tomat masak pohon itu basah sebab baru saja pemiliknya siram dengan segelas susu putih tinggi lemak. Ranumnya sembunyikan gigi kelinci dengan sempurna. Perawakannya yang tinggi gagah itu kalah oleh sofa panjang warna biru tua yang ia jadikan persinggahan, sebelum nanti ia akan menyapa mentari sambil lari pagi. Kegiatan yang rutin dilakukan setiap pagi datang.

Lektur tentang senja baru saja ia baca.

Bukan hal luar biasa sebenarnya jika itu hanya Jeon baca di selebaran yang ia temukan di pinggir jalan, atau mungkin di novel tentang cinta yang penuh senandika picisan. Tidak. Jeon tidak akan menganggap penting kalau yang ia baca bukanlah baris dengan tulisan tangan cantik yang pagi ini ia temui di atas meja. Seseorang menulisnya. Belum lama. Mungkin semalam, atau mungkin seseorang menulisnya bersama senja.

Dan, Jeon, jadi menghela karenanya. Tatapannya lurus pada lembar putih yang ia genggam. Tulisan tangan yang indah. Tapi, tidak dengan isi suratnya.

OFFERSEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang