17. Soak to the Bone

40 5 0
                                    


Suatu hari di tengah belantara, dua ekor ular terlibat dalam sebuah percakapan. Satu ular berwarna hitam legam, satunya lagi punya belang kuning di sudut ekornya.

"Hey, kau tahu tidak kita ini binatang jenis apa?" Kata ular yang hitam legam. Dia seperti tidak benar-benar tahu siapa dirinya. Bahkan ia seperti tidak tahu apa tujuannya lahir ke dunia.

Kemudian si belang kuning menjawabi dengan amikal di wajahnya. Jelas saja, si legam itu adalah karibnya. "Kita ini ular. Di dalam gigi, kita punya bisa yang dapat kita gunakan untuk mengalahkan lawan." Si belang kuning kibaskan ekornya. Dia memang selalu berbangga dengan tiga garis kuning di sudut ekornya itu. Jenis seperti dirinya hanya ada satu di antara seribu.

"Apakah itu beracun?" Tanya si legam lagi. Kalau dibilang dungu sebenarnya tidak juga. Si legam hanya ingin memastikan tentang sesuatu yang sejak beberapa saat lalu penuhi kepalanya.

"Tentu saja. Gigitan kita sangat mematikan. Bahkan spesies kita adalah salah satu yang paling mematikan di dunia." Jawaban si belang kuning terdengar meyakinkan. Ia sungguhan dengan jawabannya. Dan kini ia penasaran, kenapa si legam itu bertanya, padahal yang lalu-lalu si legam itu tahu. "Hey, kenapa kau mempertanyakan tentang hal ini?"

Si legam diam sejemang. Dia kelihatan sedang berpikir. Ekornya juga tenang, tak mengibas seperti apa yang karibnya lakukan. Matanya sayu. Tubuhnya mendadak layu. Tak lama kemudian si legam menatap karibnya, lalu dengan raut putus asa, dia bilang;

"Aku baru saja menggigit lidahku sendiri."

...

Well, itu adalah lelucon tua yang baru saja Sojin ceritakan.

Gigih sekali Sojin untuk membuat istrinya tertawa. Ia sudah menceritakan lelucon seperti ini sebanyak puluhan kali. Pun Sojin masih akan terus bercerita sampai Nara mau tertawa. Sekedar mengangkat wajahnya juga tidak apa-apa. Sojin sungguh ingin melihat tanda kehidupan di air wajah Nara yang telah sebulan tak ditemuinya.

Sojin rindu.

Sungguh.

Ia akan melakukan apa pun demi membuat Nara tersenyum ketika bersamanya. Bahkan demi mendukung usaha menunjukkan cinta, Sojin sampai hiatus dari rutinitas di tengah lautnya. Padahal selama ini Sojin belum pernah meninggalkan lautan dalam jangka waktu panjang. Sojin seperti tidak bisa bernapas kalau sedikit saja ia jauh dari lembar biru itu. Sojin akan diserang mimpi buruk manakala ia tidak tidur di atas kapalnya.

Secinta itu Sojin pada lautan. Pun secinta itu Sojin pada Jeon Nara. Kalau harus memilih di antara keduanya, Sojin lebih baik mati saja.

Tetapi leluconnya kali ini tak berarti apa-apa. Nara yang tidur sambil memeluk erat tubuh Sojin sama sekali tak memberi reaksi. Bahkan sedikit saja kekehan geli untuk setidaknya mengapresiasi usaha Sojin yang ingin sekali memenangkan hatinya, Nara tak melakukannya. Perempuan itu benar-benar tak lagi bisa mengangkat wajahnya. Nara malu. Ia malu pada Sojin yang selalu dipenuhi sempurna, sedangkan ia adalah bukti kegagalan yang nyata.

"Tidak apa-apa, Ra. Aku mencintaimu. Sungguh. Jangan menangis lagi." Presensi Sojin memang selalu hadir dengan suara lembutnya. Kendati suaranya kadang terdengar sumbang, itu tetap akan menimbulkan reaksi tenang bagi Nara yang memang sudah menunggu kepulangan suaminya.

Tapi apa mau dikata, Nara yang selalu berusaha kuat selama Sojin belum datang, pada akhirnya ia runtuh. Bahkan untuk lelucon tua Sojin yang biasa selalu membuatnya terpingkal, kini malah membuat napasnya tersengal karena menahan isak tangis. Basah di pipinya tak pernah punya kesempatan untuk kering. Nara sakit, sampai tulang belulangnya seakan mati rasa. Barangkali Sojin tidak sedang memeluknya, mungkin Nara sudah menyatu bersama buih di lautan sana.

OFFERSEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang