Sebuah Keputusan

401 61 27
                                    

        Pagi-pagi sekali Widia sudah terbangun dari tidurnya.
Suasana masih hening dan sepi, Widia berusaha menyelimuti tubuhnya karena udara yang masih terasa dingin.
Kepala Widia agak terasa berat dan sedikit pusing.

       "Duh badan ini  kurang enak dan nyaman rasanya," bisik Widia didalam hati .

Barangkali saja ini karena  semalam Widia gelisah  sehingga mengakibatkan tidurnya jadi berkurang .

       "Dingin sekali ," kata Widia bergumam.

Widia masih bersembunyi di balik selimutnya dan tak ingin keluar dari selimut empuk itu malah berusaha merapikan , kalau-kalau ada celah yang bisa dilewati udara.
Mata Widia melirik ke arah jam dinding yang ada di dinding kamar.
Baru jam empat lewat empat lima menit sebentar lagi masuk sholat subuh.
    
Tak lama kemudian samar-samar terdengar suara adzan subuh berkumandang sungguh merdu sekali.
Widia berusaha bangun dari tidurnya melawan rasa dingin dan langsung menuju  kamar mandi. Beberapa saat kemudian tampaklah  gadis itu sedang melaksanakan sholat subuh dengan kusyuk .
Dalam doanya semoga pertemuan dengan mas Irwan hari ini menghasilkan keputusan yang manis.
Seketika wajah lelaki sederhana dan bersahaja itu terbayang di mata Widia.
Tanpa sadar Widia tersenyum sendiri membayangkan kelucuan-kelucuan saat  bersama mas Irwan.
Lalu widia bergegas merapikan tempat tidurnya.
Wajah Widia tampak agak kuyu dari pandangan matanya  tersirat kegelisahan didalam hatinya.

     "Streeeng...," terdengar suara minyak panas menggoreng sesuatu.

Aromanya mulai menusuk hidung Widia.

        "Uhmmm wangi," bisik Widia.

        "Ibu menggoreng ikan," lanjut Widia.

Samar-samar terdengar suara ayah sedang berbicara dengan ibu dan sekali-sekali terdengar tawa ayah yang memang sangat khas bagi Widia. Ini memang kebiasaan ayah yang selalu menemani ibu ketika masak pagi tapi kalau Widia sudah datang baru lah ayah melakukan aktifitas lain.

   Seketika Widia melangkah menuju dapur, disana  Widia melihat ayah sedang duduk di kursi rotan kesayangannya.
Di atas meja tampak segelas kopi dan dipiring kecil ada beberapa potong kue.

    "Assalammu'alaikum," Widia mengucapkan salam

    "Wa'alaikum salam," jawab ayah dan ibu beriringan.

Lalu Widia menyibukkan diri membantu ibu di dapur.
Ayah meminum kopi yang tersisa dengan nikmat. Dan memakan sepotong kue  buatan ibu.

        "Widia, ayo makan kuenya," kata ayah.

       "Iya, Yah," sahut Widia.

Widia tetap melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan peralatan dapur yang kotor dan mencucinya.
Seperti biasa ayah berdiri dan siap mengambil peralatan kebun.

      " Ayah ke kebun, ya Bu," kata ayah .

       " Iya, Yah".

        " Hati-hati," sahut  ibu.

Setelah selesai masak ibu menata makanan di atas meja.
Dan bersiap untuk ke kebun menyusul ayah.

         "Widia letakan piring dimeja, ya," kata ibu.

          "Iya, Bu," jawab Widia sambil tersenyum.

         "Ibu ke kebun, ya," lanjut ibu.

         "Iya," jawab Widia.

Widia melanjutkan pekerjaannya dan menata  beberapa piring diatas meja. Tepat jam delapan pagi ayah dan ibu telah rapi dan duduk dimeja untuk sarapan.
Widia yang baru keluar dari kamar tersenyum memandang ayah.

Jodoh Setengah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang