Januari 2

81 13 1
                                    

Seharian Igta uring-uringan. Masalahnya bukan hanya memikirkan bagaimana keadaan Janu sekarang, melainkan tugas yang lupa ia bawa. Tugasnya dikumpulkan setengah jam yang akan datang, tidak mungkin Igta ngebut ngetik lalu berlari ke tukang print depan sekolah hanya dalam waktu segitu, bukan? Mana tugasnya berlembar-lembar.

Di tengah kegelisahannya, satu notifikasi pesan mengalihkan Igta. Ia membaca pesan itu dengan wajah tersenyum. Moodnya naik, hanya karena tindakan tiba-tiba dari Janu.

Januari

Tugasmu ketinggalan kan? Pakai punyaku, Ajun otw habis olahraga nganterin ke situ.

Igta memang bercerita, tugasnya ketinggalan dan ia ketakutan setengah mati sejak tadi. Namun cowok itu tidak kunjung membalas pesannya, Igta pasrah saja sebenarnya. Memilih dihukum dibandingkan mengerjakan tugas sebanyak itu. Meski heran Janu dapat dari mana hasil tugasnya, Igta tetap berterima kasih.

Salah satu alasan mengapa Igta enggan melepaskan Janu. Tindakannya yang tiba-tiba sering kali membuat hati Igta menghangat.

"Gimana tugas lo?" Diya, salah satu teman baik Igta bertanya.

"Janu udah nitip ke Ajun tadi. Katanya dia udah otw."

"Gue kadang bingung, Ta. Lo selalu bilang kalau lo capek pacaran sama Janu. Tapi keliatannya kalian baik-baik aja."

"Gue juga bingung, Ya."

Mungkin bagi orang lain, hubungannya dengan Janu baik-baik saja. Tidak ada yang salah dari mereka berdua. Tapi bagi Igta, itu berbeda. Hubungan mereka mulai tidak sehat. Entah hanya Igta yang merasa demikian atau itu memang benar adanya. Akhir-akhir ini, Janu lebih sering membawa luka. Lalu datang kepadanya seolah ia baik-baik saja.

Janu terlalu tertutup. Selalu mengalihkan kenyataan. Kadang, Igta bingung. Janu sedang jujur atau malah berbohong lagi seperti waktu itu.

Kali itu, kali pertama Igta mengetahui kebohongan Janu. Cowok itu bilang, ia terluka karena tak sengaja jatuh dari tangga, padahal kenyataannya, ia melukai diri sendiri. Bagaimana Igta bisa tahu? Ia menemukan banyak benda tajam yang tersembunyi di toilet dalam kamar cowok itu.

Sejak saat itu, Igta mencoba untuk membuat laki-laki itu jujur. Tapi sayang, yang ia dapat malah kebohongan-kebohongan lain. Saat Igta meminta cowok itu jujur dan mengancam runtuhnya hubungan mereka, baru saat itu Janu mencoba untuk jujur. Meski sampai sekarang Igta tak tahu cowok itu tetap jujur atau tidak.

✴✴✴

"Janu nggak papa, Jun?" Igta bertanya saat Ajun memintanya untuk pulang bersama. Bukan apa-apa, itu suruhan Janu.

Dan selalu saja begitu. Ketika Janu sedang berhalangan untuk mengantar jemput cewek itu, ia pasti meminta Ajun untuk mengantarkannya pulang. Janu banyak melibatkan Ajun dalam hubungan mereka, contohnya seperti sekarang.

"Nggak papa, dia cuma ngeluh pusing sama semalem diare."

"Udah dikasih obat?"

"Udah. Lemes banget tadi dia, makanya ijin. Lo mau nengok? Kali aja lo samperin dianya sembuh."

Igta menggeleng di belakang Ajun. "Nggak, deh, Jun. Tugas gue banyak. Titip salam aja buat dia. Kalau makin parah bawa ke dokter aja."

Ajun mengangguk sembari tersenyum. Mungkin, dari sekian banyak orang yang mengenal Janu, Ajun adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengan laki-laki itu. Ajun juga tinggal di rumah Janu setelah cowok itu paksa supaya tidak lagi ngekost. Katanya, sayang duit, lebih baik dipakai untuk biaya sekolah adiknya.

Dan dari sekian banyak orang yang Ajun kenal, Janu adalah orang yang terbaik. Tidak pernah pamrih saat menolongnya, dan tidak pernah memandang apa pun. Itulah mengapa Ajun mau-mau saja cowok itu suruh untuk mengantar jemput Igta ketika ia tidak bisa melakukannya.

Motor matic Ajun berhenti tepat di gerbang rumah Igta. Cowok itu lagi-lagi tersenyum saat Igta mengatakan terima kasih banyak dan maaf karena Janu merepotkannya.

"Ta, Janu orang baik. Jangan tinggalin dia, ya," katanya sebelum berlalu dari hadapan Igta.

✴✴✴

8 Januari 2021

Kutitipkan Januari PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang