Januari 4

62 15 0
                                    

Malam itu, selepas pelukan mereka terlepas, keduanya masih sama-sama diam. Tak ada pembahasan, sampai akhirnya Igta mengangkat kepala, menatap wajah kekasihnya yang masih terlihat pucat. Juga penasaran, mengapa laki-laki itu datang di saat kondisi badannya saja tidak seperti biasanya.

"Kenapa?" Dipandangi seperti itu, tentu membuat Janu heran, gadisnya tidak biasa seperti itu.

"Maaf, ya."

"Nggak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah. Capek itu wajar, aku juga kadang capek. Tapi sama diri sendiri, bukan hubungan kita." Seperti biasa, cowok itu tersenyum.

"Tetep aja aku merasa bersalah."

"Yang penting sekarang, kita masuk, makan martabak bentar, baru aku pulang."

Igta kembali menoleh, menatap Janu dengan tatapan heran. "Semalem ini?"

"Ya, daripada disangka yang nggak-nggak kan, mending pulang. Sama Ajun kok, nanti mampir ke cafe dulu."

Igta mengangguk, kemudian menggandeng pemuda itu untuk masuk ke dalam. Perasaannya lebih baik sekarang. Setidaknya dengan melihat Janu baik-baik saja, tidak lagi terluka, Igta juga akan baik-baik saja.

"Aku masih heran, deh. Kenapa malem-malem begini kamu malah dateng?"

"Mau minta maaf tujuan sebenarnya. Tadi nggak sempet ngabarin, baru bangun soalnya. Kata Ajun tadi kamu telat, sorry, ya."

"Nggak masalah. Kamu juga udah bantu aku tadi. Btw, yang tadi itu tugasnya siapa?"

"Tugasku lah. Bukan tugas Ajun, kok. Tenang aja."

Igta menyerahkan martabak manis yang baru saja ia pindahkan ke piring besar. Yang langsung saja Janu sambut dengan senyuman. Malam ini, ia belum makan sejujurnya. Perutnya tidak bisa diajak kerja sama. Selalu mual ketika ia memasukkan makanan. Lidahnya juga pahit, itulah alasan mengapa Janu membeli martabak manis. Supaya perutnya juga terisi.

"Luka kamu yang kemarin gimana?"

"Udah kering, kok. Nih." Janu memperlihatkan lengannya. Benar, lukanya mengering.

Igta tidak membalas, ia hanya tersenyum sembari mengambil satu potong martabak, menyuapi Janu yang langsung saja membuka mulut.

Malam itu, perasaan keduanya baik-baik saja. Igta yang semula lelah, kembali merasa kalau mereka akan baik-baik saja. Janu juga merasa lebih baik. Entah karena perhatian yang hanya ia dapat dari Igta, atau karena mereka tetap baik-baik saja. Setidaknya sekarang.

✴✴✴

Paginya bukan malah membaik, Janu merasa badannya lebih lemas. Seolah tak memiliki tenaga sekali pun hanya membuka suara. Jadi, dia hanya diam saja melihat Ajun yang sudah panik ke sana kemari sejak tadi.

Sungguh, Janu merasa bersalah. Sahabatnya itu sudah sangat sering ia repotkan. Di saat seperti ini, Janu merindukan hangat dekap ibunya yang entah di mana sekarang.

Dulu, dulu sekali Janu mendapatkan semua kehangatan itu. Lalu tiba-tiba badai datang menerpa keluarganya yang membuat semuanya hilang. Janu kehilangan segalanya saat itu. Hangat ibunya, raga ibunya, perhatian sang ayah, semuanya hilang begitu saja. Janu bahkan tak tahu di mana ibunya selepas badai itu mulai tenang. Ayahnya saja hanya datang satu bulan sekali. Itu pun hanya sehari, sebelum kembali hilang diterpa angin. Tanpa meninggalkan jejak pasti.

Itulah mengapa Janu meminta Ajun untuk tinggal bersama. Agar rumah besar milik ayahnya tidak sepi ketika ia tinggali sendiri. Janu juga sering mengajak teman-temannya yang lain untuk menginap. Tujuannya hanya satu, agar sepi di matanya hilang. Agar ia tetap bisa tersenyum, seperti biasa.

Meski sekarang ada Igta dan Ajun yang selalu ada di sampingnya, tetap saja Janu merasa kesepian. Terkadang, ia merindukan saat-saat di mana semuanya masih baik-baik saja. Saat di mana ia bisa tersenyum lepas tanpa harus berpura-pura.

Seperti sekarang,

Janu merindukan ibunya.

11/1/21

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

11/1/21

Kutitipkan Januari PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang