|᮶|

15 5 6
                                    

Pagi pagi sekali kediaman bapak Yono sudah sangat ribut, teriakan melengking terdengar saling bersahut sahutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi pagi sekali kediaman bapak Yono sudah sangat ribut, teriakan melengking terdengar saling bersahut sahutan. Siapa lagi pelakunya jika bukan Nabian dan Jafar. Kedua manusia itu sepertinya tidak biasa jika tidak bertengkar barang sehari saja.

"Aa! Plis banget a udah telat. Anter atulah.." rengek Nabian ketika Jafar tak kunjung membuka matanya, terhitung sudah satu jam lebih rengekan itu terus terdengar tak henti henti.

"Ish ya udah sok cepet siap siap."

Jafar bangkit kemudian bergerak menuju kamar mandi, demi tuhan Jafar baru saja tidur jam 5 pagi, kini ia harus mengantar adiknya itu ke sanggar tempat Nabian biasa berlatih menari, bahkan matahari saja belum berniat menunjukkan dirinya.

"Udah siap dari tadi, tinggal nunggu aa."

Bian mengambil tempat di salah satu kursi meja makan, si wajah lesu itu kini meraih sepotong roti kemudian ia makan dengan malas.

Terhitung sudah sebulan lebih sejak terakhir kali peristiwa di toko sepatu waktu itu, namun tak bisa Bian pungkiri jika rasa sakitnya masih saja sering menghantui. Tak jarang ia tiba tiba teringat tentang kenangannya bersama Ten, perjuangannya dengan cairan pekat yang paling ia benci, dan ujung pahit yang tak pernah bisa ia lupakan.

Nabian menghela nafas berat, ia akui dirinya memang lemah jika menyangkut perasaan. Terkadang ia bahkan kesal pada dirinya sendiri yang sulit sekali berdamai dengan waktu dan keadaan.

"Bian! Ini ada temen!"

Teriakan mama terdengar nyaring dari lantai bawah, berhasil mengambil perhatian Bian yang semula sedang melamun, teman? Siapa teman yang berkunjung di pagi buta begini?

"Iya bentar!"

Dengan malas Bian beranjak menuju asal suara, netra coklat terang itu menelisik ketika ia sampai di depan rumah.

"Jaelani?"

Matanya membelalak, refleks ia mendekat—mencoba memastikan jika yang kini sedang duduk di atas Piter memang benar benar Jaelani.

"Ngapain pagi pagi kesini?"

Jaelani tersenyum manis ketika Bian kini sudah berada dihadapannya. "Saya denger kamu ada acara ya pagi ini? Bareng saya aja yuk, biar sekalian." Ujarnya lembut.

"Eh? Tau dari siapa?"

"Teh Karin bilang kemarin. Udah ayo naik, nanti terlambat." Jaelani menyodorkan sebuah helm berwarna merah.

"Emang ngga ngerepotin?"

"Ya engga atuh makannya saya ajak bareng juga." Jaelani terkekeh pelan, membuat Bian hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ya udah tunggu ya sebentar"

Bian berlari kecil kembali kedalam rumah-berpamitan pada ibu dan ayahnya. Juga berbincang sedikit pada Jafar, si kakak tampan itu tidak ambil pusing. Ia memutuskan untuk kembali menjemput mimpi, mengistirahatkan tubuh lelahnya.

antara aku, kamu, kopi dan susu «Na Jaemin»Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang