•••
Suara angin malam sayup sayup dapat Bian dengar dengan jelas. Bulir bening itu lagi lagi jatuh menetes membasahi pipi merah si wanita.
"Ugh.." Bian meleguh, merasakan denyut nyeri didalam dadanya. Jika kalian percaya dengan ucapan Bian sebelumnya, tentang merelakan Ten selama pria itu bahagia.
Maka jawabannya salah besar.
Nyatanya patah hati tetaplah patah hati. Bagaimanapun kalian berusaha meyakinkan diri bahwa kalian bisa bahagia melihat dirinya bersama yang lain, itu tidak akan pernah bisa terlaksana dengan cepat.
Tak apa, sakit hati atau menangis itu menusiawi. Menangis lah, tidak ada yang salah tentang menangis. Namun jangan berlebihan, tak baik berlarut larut dalam kesedihan. Toh, bagaimanapun dunia akan terus berjalan. Dan hari akan terus berganti, waktu pun tak akan terhenti hanya karena kau patah hati.
Bian mengusap lelehan air matanya, ia janji itu tetesan yang terakhir, untuk malam ini. Hidupnya masih panjang, akan ada lebih banyak hal yang patut untuk ditangisi dimasa depan. Bian harus menghemat dari sekarang.
Wanita itu kembali meneguk sebotol soda digenggaman nya. Melabuhkan tatapan sayu itu pada hamparan kota Bandung yang kini terasa sangat menyesakkan. Bahkan udara dingin di bukit sama sekali tak mempan menghalau rasa sakit di dada Bian.
"Ten flop. Disband aja lah.." seru Bian dengan lengan kiri yang dimasukkan kedalam saku jaket. Angin malam benar benar tidak bersahabat.
Bian menatap jam di pergelangan tangannya, pukul 11 lewat. Ia yakin sudah tidak ada kendaraan umum yang bisa mengantarnya pulang. Lagi lagi Bian mendesah keras.
"Pulang nya gimana ya Allah.." Bian mengadah, menatap langit yang kini nampak suram. Tanpa ada bintang satupun. Benar benar bukan hari Bian, fikirnya.
Ten pasti sudah menyatakan perasaannya pada Berliana sekarang, entah apa jawabannya Bian benar benar tak peduli. Ia rasa sudah cukup ia menyakiti dirinya sendiri, Bian perlu berdamai dengan semuanya. Dengan hatinya, lambungnya. Dan seluruh kehidupannya.
Sejujurnya Bian merasa ini semua tidak adil, pengorbanannya, pengalamannya. Itu semua sia sia, jika Bian bisa maka ia ingin meminta pada Tuhan, meminta Ten nya. Hanya untuk Bian. Namun kembali kepada kenyataan.
Bian tak ingin lagi bermain perasaan, salahnya memang tidak jujur pada Ten sejak awal. Sekarang Bian jadi berfikir, jika saja ia jujur tentang perasaannya pada Ten, akankah ia yang kini berada di posisi Berliana? Atau memang takdirnya hanya sebatas adik dan kakak kelas dengan Ten? Ah sudahlah.
Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang bisa mengubah takdir. Toh jika memang berjodoh, ia dan Ten pasti akan kembali disatukan bagaimanapun caranya.
"Ekhem.." deheman itu terdengar jelas dari arah belakang. Membuat Bian seketika menoleh, menatap tajam pada seseorang yang kini berjalan mendekatinya. Bukit sangat gelap, membuat Bian sedikit kesusahan melihat wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
antara aku, kamu, kopi dan susu «Na Jaemin»
Fanfiction[Romance] [lokal] [fluff] "Tentang Jaelani, Nabian, dan Bandung„ •100% fiction •sedikit bahasa Sunda •apabila ada kesamaan tokoh, tempat dan lain lain. Adalah sebuah ketidak sengajaan.