1. Anak Desa

128 15 4
                                    

Afifah Riella Syafania, nama yang selalu kuresapi dengan bahagia dan penuh syukur. Kata Bunda, namaku bermakna harga diri, suci, yang mensucikan diri, dan yang baik. Walaupun dulu aku sempat menyandang nama sebagai Gifani Melfandra Anggelina yang memiliki arti penuh daya cipta, naluri, dan suka berkelana di ruang masa lalu. Namun satu hal yang menjadi alasan kenapa Ayah bersikeras mengantinya, perihal masa lalu yang tersirat di dalam arti namaku.

Aku mencintai setiap detik yang mengalir dalam hidup, sejak kaki berupa sepasang tungkai mungil yang berlari-lari di pematang sawah. Cinta dan kasih sayang selalu tertanam dari keluarga, dan lingkungan sekitar. Bagiku, mungkin juga bagi kalian, setiap bagian kehidupan mulai dari masa kecil, masa remaja, masa pernikahan adalah masa-masa emas yang memiliki cahayanya sendiri.

"Fania!!! Cepat bangun!!" teriak Bunda dengan suara andalannya memenuhi seisi rumah. Kenyataannya namaku dulu dan sekarang itu menyerupai, paling hanya beda Gi dan A nya saja, yang jelas masih ada Faninya.

"Fania! Sudah jam 07.00" Bunda menarik nafas pelan, sembari mengambil handuk merahku yang tadinya tergantung di pintu.

Melfa Gustia Safira, sebuah nama yang selalu menggetarkan hati dan mengalirkan energi luar biasa dalam darahku. Tutur katanya yang puitis tapi juga kadang tragis kalau sudah masalah begini. Sebenarnya Bunda tidak garang, hanya saja tegas dalam mendidikku. Jangan pikir karena aku ini anak semata wayang Ayah Bunda, akan selalu dimanja dan hidup penuh kemewahan. Itu salah besar, karena dari kecil aku sudah dituntut untuk mandiri dan hidup sederhana. Ukuran rumah kami saja kecil. Bukan maksud tidak ingin memiliki rumah megah nan mewah, justru itu yang diimpikan setiap orang tentunya. Tapi karena Bunda sedang menjalani pendidikan di perkuliahan, membuat kami harus menyisihkan uang setiap bulannya untuk membayar uang semester Bunda. Tapi yang aku tahu, Ayah punya banyak tabungan di bank dan tidak berniat mengambilnya. Katanya sih untuk masa depanku nanti, biar bisa sekolah tinggi-tinggi. Hehe aamiin.

"Ya ampun Fania," teriakan itu semakin melengking, membuat telingaku terangkat sempurna, refleks berlari seperti atlet menuju kamar mandi.

"Airnya dingin Bun."

Aku kembali tidur di atas ranjang. Bunda yang melihat hal itu, spontan menepuk jidatnya lalu menganggkat tubuhku yang mungil menuju kamar mandi dengan posisi mata setengah tertutup.

Trusss......

Suara air mengalir dari atas membasahi tubuhku.

Aku memeluk diriku kedinginan, sedangkan gigiku terus saja bergetar hebat hingga kedengaran suaranya. Menggigil lebih tepatnya. "Dingin!"

Bunda tak menghiraukan perkataanku, malah membersihkan seluruh tubuhku mulai dari gigi yang ompong lalu memakaikan seragam sekolah berwarna merah putih dipadukan dasi di leherku.

"Di sekolah jangan nakal, belajar yang benar," sahut Bunda seraya menyisiri rambutku yang sependek bahu, lalu mengukirkan poni lurus di depan kening, persis seperti Dora.

"Jajan?" tanyaku yang masih memasang sepatu, setelah menikmati segelas susu hangat buatan Bunda.

"Nih!" Bunda memasukkan selembar uang kertas berwarna kuning ke kantong bajuku.

"Gak mau makan?"

"Nggak, nanti Fania muntah."

Kebiasaanku saat kecil, tidak ingin makan nasi di pagi hari, entahlah mungkin saja ini tentang kebiasaan perutku yang menolak.

Simfoni Jumantara || Rasa Tak Bernama Part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang