Kita tidak perlu menjadi orang lain untuk dicintai.
- HALU -
Aku mengetukan sepatuku beberapa kali pada kursi yang sedang aku duduki. Sedangkan Dinda menyenggol lenganku kesal agar aku segera terdiam, pembelajaran yang sangat membosankan adalah olahraga yang harus di terangkan di kelas karena di luar sedang hujan.
"Na, berisik," senggolnya membuat aku menoleh sambil terkekeh kecil, sebelum menjatuhkan kepalaku tepat di pundaknya.
"Heh! Pak Arman tahu, kena semprot baru tahu rasa," balasnya sambil memaksa kepalaku agar tidak menyender di bahunya.
"Berat Keyna," ucapnya lagi sambil menjauhkan diri, hampir membuat kepalaku terbentur kursi yang ia duduki.
Aku mengerucutkan bibirku, sambil menatapnya sebal. Sedangkan ia sedang mati-matian menahan ledakan tawanya.
Aku kembali menatap Pak Arman yang sedang menerangkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Berpura-pura mendengarkan sambil menyanggah daguku dengan tangan. Jeda beberapa menit, akhirnya ia keluar dan mengatakan bahwa ia akan keluar kota hari ini, jadi kemungkinan sisa jamnya akan menjadi surga bagi siswa kelasku.
"Kenapa nggak dari tadi?" desisku saat Pak Arman benar-benar keluar dari kelas.
"Na?" aku menoleh pada Dinda yang sedang mencoret-coret belakang bukunya secara abstrak.
"Kita nggak bisa kayak dulu lagi ya?" aku terhenyak, aku tahu kemana arah pembicaraannya.
Aku masih diam, tidak berani mengatakan apapun padanya. "Kita bukan anak kecil lagi kan Na?"
Aku menghela nafas, "Percuma ingin seperti dulu jika dia selalu menganggap kepedulianku adalah kebencian Din,"
Dinda memutarkan tubuhnya agar menghadap penuh ke arahku. "Tapi waktu kita bareng-bareng itu nggak singkat Na, dari sejak kelas 10." ujarnya.
Aku tahu, Dinda yang paling membenci situasi ini. Padahal, jika di ingatkan, aku juga tidak pernah ingin berada di posisi ini.
"Percuma," lirihku membuat ia menatapku.
"Percuma kita kembali kalo setiap orang masih nggak mau mengalah, percuma kembali kalo masih ada sesuatu yang mengganjal tak suka."
"Na-"
"Din, percuma kita balik lagi kalo kenyataannya bakal susah untuk disatukan. Karena nantinya akan tetap canggung, tidak seterbuka dan seenak dulu lagi. Nanti akan selalu ada skat pembatas, kita akan selalu mempunyai jarak." aku memotong ucapan Dinda, sadar bahwa ia akan protes dengan ucapanku.
"Aku capek Na," lirihnya membuat aku menggigit bibir.
"Katanya kita akan menjadi Sahabat Until Jannah, katanya kita bakal berjalan beriringan menuju benar. Aku selalu percaya itu, aku masih ingat dengan janji kita. Terus sekarang apa?" tanyanya.
"Stop Din! Aku masih menyayangi Mega, Amel dan kamu. Aku menyayangi kalian, bohong kalo aku bilang aku nggak mau kayak dulu lagi. Tapi itu percuma Din, Mega udah bahagia tanpa aku," lirihku sambil menatap Mega yang tengah tertawa dengan teman barunya.
"Aku selalu nggak terima kalo liat bibir itu tertawa, tapi bukan dengan aku. Seharusnya yang di posisi Nina itu aku. Dulu yang di posisi Nina itu kita." Dinda ikut menoleh.
"Aku nggak maksa kamu harus ikut aku dan Amel atau Mega. Kamu tahu permasalahannya. Kamu tahu cerita Mega dariku dan kamu tahu cerita aku dari Mega. Aku tahu kamu bisa menyimpulkan dari sudut pandangku dan Mega,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Halu [END]
Teen Fiction-Antara Cita dan Cinta- Ketika mencintai laki-laki yang bahkan mengetahui hadirmu pun belum tentu, kamu akan bersikap seperti apa? Memberi tahu, jika kamu sedang mencinta? Atau bersikap selayaknya Fatimah yang mencinta dalam diam kepada Ali? Atau be...