30 : Kerena tidak mungkin

100 14 4
                                    

Setabah itu persaan yang aku punya, meski aku tahu kenyataannya bahwa, aku dan kamu yang tidak mungkin menjadi kita.
Tapi kamu selalu menjadi titik istimewa di dalam semesta.

- HALU -

Aku, Amel dan Dinda sedang terduduk di tepian lapang futsal. Menatapa laki-laki anak kelas kami yang tengah sibuk bermain bola.

Amel menutupi wajahnya dengan tissu yang sengaja ia bawa, sedangkan Dinda sudah sibuk mengipasi wajahnya dengan tangan. Dan aku sendiri malah dengan nyaman menatap langit.

"Sumpah cape banget... ini gara-gara si Adam, udah tahu kita itu gak usah belajar lagi, tapi tetep aja maksa buat olahraga." decak Dinda.

Sebenarnya hari ini adalah jadwal pelajaran olahraga kelas kami. Mungkin pikir Dinda, kita sudah lulus dan tujuan ke sekolah hanya untuk menghabiskan waktu bersama sebelum memasuki bangku kuliah nanti dan menanti perayaan perpisahan dan kelulusan angkatan kami. Tapi, tadi Adam meminta kita agar tetap olahraga di lapangan.

"Heh! Abi kita itu!" balas Amel tanpa menyingkirkan tissu di wajahnya.

"Mel, kenapa si di tutup tissu gitu?" tanyaku tak habis pikir.

"Panas Na," balasnya.

"Tetep aja, ini itu kita udah mandi keringet tahu gak? Pokonya ini gara-gara si Adam. Harusnya kita itu lagi diem ngobrol-ngobrol di kelas." saut Dinda masih tidak terima dengan keputusan Adam.

"Abi itu pasti tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya Din." aku nyaris tertawa mendengar Amel menyematkan kata 'Abi' untuk Adam. Katanya, sebagai ketua kelas, dia juga di anggap sebagai ayahnya anak-anak kelas. Tapi itu menggelikan menurutku.

"Iya Din, kamu kalo gak olahraga di sekolah dimana lagi? Lagian kamu harus bersyukur sama Adam, kita itu cuman olahraga satu minggu sekali, itupun kalo sekolah. Kalo nggak? Mana ada kita olahraga." balasku membuat Amel mengangkat jempolnya.

"Iya juga si.... " lirih Dinda.

Amel membukakan tissu di wajahnya, lalu menatap Dinda dengan keadaan yang sudah menghadap dengan sempurna. "Abi gak pernah salah." ucapnya membuat Dinda mencibik.

Aku tersentak dengan seseorang yang melemparkan sebotol kopi pada Amel, untungnya dengan sigap Amel bisa menangkapnya.

"Ngapain lo?" tanya Amel membuat laki-laki yang baru saja melemparkan sebotol kopi dingin itu terduduk tak jauh dari kami.

Ia melemparkan sebotol kopi dingin lagi padaku dan Dinda. Aku meringis saat tangkapanku hampir meleset. Laki-laki itu mendecak sambil mentertawakan tindakanku.

Aku mendelik sambil menyimpan sebotol kopi itu tepat di samping, sedangkan Dinda dan Amel sudah mulai menteguknya. Aku meringis, apa jadinya jika aku meminum kopi?

"Kok gak di minun Na? Gue gak punya persugihan loh." ucapnya membuat aku menatapnya.

"Aku gak suka kopi Ja." Raja menganggukkan kepalanya beberapa kali.

"Alasannya?"

"Kerena kopi pahit." balasku.

"Kopi nggak sepahit itu Keyna, itu kopi susu, rasanya manis." ucapnya membuat aku mendecak.

Halu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang