46 : Ayah

151 17 10
                                    

niatnya mau publish pas mlm, tp malah ketiduran haha.

Punya anak perempuan itu, sebuah karunia sekaligus bencana.

- HALU -

    Hari itu, hari yang paling aku tunggu sekaligus aku takutkan, aku tidak bisa berpikir jernih untuk menolak atau menerima ajakannya untuk bersama.

Dan pada akhirnya, aku malah mengambil cuti kuliah selama dua minggu. Dan aku memilih pulang ke Jakarta, aku pulang tanpa menjawab ucapan Albi di Jogja.

Munafik jika aku mengatakan bahwa perasaanku sudah biasa saja, karena saat Albi mengatakan 'balik ya sama gue.', mampu membuat hatiku berbunga.

Tapi bagaimana? Sisi egoisku masih enggan untuk di kalahkan, ingin marah karena selama hampir tiga tahun ini, dia kemana? Saat ia mengatakan 'berhenti ya?', apakah menurutnya itu tidak membekas?

Mungkin, ini cerita cinta paling rumit dengan peran utama yang seplin-plan ini, untuk menentukan kemana perasaannya akan berlabuh.

Aku akui, aku terlalu bertele-tele untuk memutuskan suatu hal, aku tidak punya pendirian untuk mengatakan iya atau tidak dengan lantang.

"Na?" aku menatap Ayah yang sedang berdiri di ambang pintu.

"Keluar yuk?"

"Kemana?" tanyaku.

"Beli ice cream," bisiknya membuat aku tersenyum kecil.

"Nanti kolestrolnya kambuh," balasku membuat ia mencibik.

"Na, jangan kayak Bunda ah." aku tertawa mendengarnya. Ayah itu pecinta ice cream, tapi dia bisa makan ice cream jika bersamaku saja. Lagian jika dengan Bunda atau Bang Iqbal, yang ada Ayah terkena tausiyah.

"Sekalian jalan-jalan sore," bujuknya membuat aku menutup laptop di hadapanku.

"Keyna siap-siap,"

"Jangan lama," ucapnya sambil kembali menutup pintu.

***

     Setelah membeli ice cream, aku dan Ayah mengintari taman komplek, mencari spot nyaman untuk menikmati ice cream di sore hari ini.

"Kenapa pulang dadakan?"

"Ayah gak mau aku pulang?" ia tertawa, menarik tanganku agar mendekat ke arahnya, lalu tangannya mulai merangkul bahuku dengan hangat.

"Bukannya anak Ayah itu cinta banget sama Jogja?"

"Ya, kan gak boleh jadi kacang lupa kulitnya." balasku membuat ia mengacak pelan khimar yang aku pakai, membuat aku mendecak tak suka.

"Tapi kata Abang kamu bilang mau pulangnya sambil nangis,"

"Bohong itu," elakku.

"Bohong yang mana? Kamu atau Bang Iqbal?" ya, ayah memang akan selalu tahu saat aku berbohong.

"Aku nangiskan karena kangen Ayah, kangen masakan Bunda juga." balasku.

Halu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang