15 : Hambar

99 13 6
                                    

Kenapa sesulit itu untuk memaafkan? Bukankah Allah saja maha pemaaf?
Kamu sehebat apa sampai-sampai tidak ingin memaafkan?

- HALU -

         Aku tidak sengaja sedikit melemparkan tas di hadapan Mega dan Dinda yang tengah berdiri di hadapan mejaku. Aku mengigit bibir, pasti mereka menganggap aku sedang marah.

"Sorry," cicitku membuat Mega menatapku sebelum ia pergi dari hadapanku.

"Din, sekarang jadi kelompok?" aku bertanya sambil mendudukan tubuhku pada kursi. Aku tidak akan pernah bisa marahan lama dengan Dinda. Dia teman satu mejaku dari sejak aku kelas sepuluh sampai sekarang.

"Kayaknya, kamu baca grup?" tanyanya sambil mengambil roti yang berada di bekalku membuat aku mencibik kesal.

"Nggak," ia menatapku malas sambil memasukkan beberapa potong roti ke dalam mulutnya.

"Na, ih susu putih?" tanyanya sambil memuntahkan kembali roti yang baru ia kunyah.

Aku tertawa pelan, "Lagian gak nanya," balasku, membuat ia menatapku kesal.

"Ini, susu coklat. Balikin," ucapku sambil merebut potongan roti di tangannya, lalu menggantikannya dengan roti yang baru aku keluarkan dari kotak makan.

"Bunda selalu bawain yang isi susu putih sama susu coklat. Lain kali tanya dulu," ucapku sambil menyentil pelan dahinya.

"Lupa," ujarnya sambil menyengir. Perlu kalian tahu, Dinda itu sangat anti dengan susu putih. Sedikit apapun, pasti dia akan tahu jika di makanan itu terdapat susu putih.

"Heh, jamkos nggak si?" tanya Naya sambil menendang kursi yang sedang aku duduki.

"Naya!" protesku membuat ia tertawa. Menyebalkan memang, dia sering sekali menendang kursiku, terkadang membuat aku sedikit terganggu. Tapi, mungkin hal ini yang nantinya akan aku rindukan.

"Maapin bucin," ucapnya membuat aku melayangkan pulpen.

"Awas kalo liat Sejarah," delikku membuat ia merubah rautnya.

"Lo nggak kasih gue contekan Sejarah, jangan harap gue bantuin gambar lo." oke aku kalah kali ini. Kadang heran, sosok tomboy seperti Naya, kenapa soal menggambar selalu bagus. Setidak mood apapun, dia selalu menyelesaikan gambar dengan sempurna.

"Dam! Calain infocus, kita nonton film Bellenya sekarang." ucap Naya mendapat acungan jempol dari Adam. Aku bukan siswa yang selalu ikut andil masalah kelas, aku bukan siswa yang selalu di sorot saat ada kegiatan apapun. Aku terlalu malas berurusan dengan hal seperti itu.

Setelah itu, kami langsung menonton film yang di katakan Naya sebagai referensi drama kami. Aku menatap layar di depanku dengan tak selera, mencoba mencerna alur ceritanya meski sangat sulit karena aku memang tidak tertarik.

"Kayaknya kalo kisahnya tentang Belle bakal susah deh," ucap Lia setelah filmnya selesai.

"Soalnya untuk kostum, pasti bakal ribet." lanjutnya membuat siswa kelasku termenung.

"Ya kali kita harus nyari kostum teko, cangkir, jam, kemoceng, dan benda-benda lain." seru Tian membuat beberapa anggota kelasku mengangguk.

Halu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang