8. Lelaki Cadangan

2K 316 21
                                    

Suasana rumah kembali tenang setelah kepulangan Asih dari rumah sakit. Begitupun keadaan hati Naina, tenang karena sang mama sudah sehat seperti sediakala. Bukan karena akan kembali didatangi tiga laki-laki yang menemuinya beberapa hari lalu di rumah sakit, tapi karena rasa lelahnya harus berjaga dan pulang pergi ke rumah.

Perhatian Naina teralih ketika pintu kamarnya terbuka. Kinara masuk ke dalam kamarnya dan berjalan menghampiri ranjang. Naina kembali fokus menata pakaiannya.

"Ada Apa?" tanya Naina.

"Ada yang mau Nara omongin masalah Mama," balasnya.

Naina menatap adiknya cepat. "Mama kambuh lagi?" tanya Naina dengan nada panik.

"Enggak, Kak. Mama sudah nggak apa-apa." Kinara menenangkan sang kakak.

Naina bernapas lega. Ia menutup pintu lemari, lalu berjalan menuju Kinara, dan duduk di samping adiknya yang sudah terduduk di tepi ranjang.

"Mama sakit karena bertengkar sama Kak Farha," ungkap Kinara.

Naina kembali menghela napas. Ganjalan dalam hatinya kini terkuak. Sempat menduga seperti itu, tapi Naina menepis. "Masalahnya apalagi?" Naina memastikan. Tatapannya meminta jawaban.

"Masalah Kak Nai." Kinara menunduk.

Mata Naina terpejam sesaat. Tak menyangka jika Farha dan Asih kembali bertengkar karena dirinya. Pasti karena jodoh. Lagi-lagi jodoh yang mereka pertengkarkan. Sudah kali kedua Asih masuk rumah sakit setelah insiden bertengkar dengan Farha, dan topiknya masih sama mengenai hal itu.

"Makanya cepat menikah sama Mas Adit atau Mas Ian, atau sama Mas Juna biar Mama sama Kak Farha nggak ribut terus masalah Kakak." Kinara menambahi.

Naina terperanjat dengan ucapan Kinara. "Mama cerita sama kamu masalah Pak Ian, Mas Adit, dan Mas Juna nengokin Mama?" tanya Naina.

Kinara mengangguk antusias. Senyum bahagia terpancar dari rautnya. Berbeda dengan Naina yang merasa kesal karena sang mama tak mau menjaga rahasianya.

"Mereka cuma teman Kakak. Jangan berpikiran yang aneh-aneh." Naina beranjak samping adiknya.

"Aneh-aneh gimana? Buktinya mereka datang ke rumah sakit buat jenguk Mama. Eh, lebih tepatnya mau nemui Kakak." Kinara menggoda.

"Udah! Sana keluar kalo ke sini cuma mau ngeledek Kakak!" Naina mengusir adiknya.

Kinara menahan tawa melihat kakaknya marah. Ia beranjak dari ranjang. "Jangan lama-lama mikirnya, nanti pada kabur kayak Kak Seno."

"Kinara!!!"

Kinara bergegas keluar dari kamar Naina sebelum bom amarah meledak. Naina masih mengatur napas karena dadanya memburu mendengar godaan sang adik. Pikirannya campur aduk mengenai godaan adiknya dan pertengkarang sang mama bersama kakaknya.

***

"Kamu sudah janji. Besok aku jemput ke rumah."

Janji memang harus ditepati. Seperti janjinya pada Ian beberapa hari yang lalu di rumah sakit bahwa Naina akan mau diajak kencan. Naina tak bisa menolak kali ini. Tak ada alasan untuknya menolak terlebih dia sudah berjanji.

Deringan ponsel membuyarkan perhatian Naina. Ia memastikan penampilannya dari balik cermin, lalu beranjak dari kursi untuk memastikan sang penelepon. Ian. Naina bergegas menggeser ke warna hijau.

"Iya, Pak," sapanya pada Ian.

"Aku bukan lagi atasanmu, Nai." Ian mengingatnya.

"Iya, Iyan." Naina memutar bola matanya.

NervousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang