Bab 1. Ketika takdir mempertemukan.

25 10 35
                                    

"Melihat ekspresi seseorang adalah cara paling mudah untuk mengetahui perasaan seseorang itu sendiri. Apakah dia sedang senang atau justru sedang dalam kesedihan yang tiada akhir. Tapi sayangnya, terkadang ekspresi tidaklah menunjukkan kebenaran yang ingin diketahui. Tersenyum bukan berarti bahagia dan menangis bukan berarti sedang terluka. Bukankah hal yang mudah menjadi rumit jika seperti itu? Tentu saja iya. Tapi, bagi mereka yang menutupi perasaan masing-masing pasti memiliki alasan di balik itu semua. Itulah mengapa kita selalu sulit untuk memahami satu sama lain. Ada hal-hal yang belum saatnya kita tahu mengenai orang-orang di sekitar kita tapi setidaknya kita harus berusaha memahami mereka. Baiklah, hari ini sampai di sini dulu materi kita. Sampai jumpa pekan depan."

"Wah...! Akhirnya selesai juga kelas kita hari ini. Tapi, kalau dipikir-pikir... kok aku jadi kepikiran sama kamu ya Jess," ucap Lusi dengan mata menyelidik.

"Aku? Kenapa aku? Apa aku terlihat seperti itu? Apa kamu pikir senyuman dan tawaku palsu?" tanya Jessi membalas sorotan mata Lusi yang menyelidikinya itu.

Lusi langsung menarik garis senyuman di bibirnya dan menjawab,

"Hahaha... bukan apa-apa. Aku hanya kepikirkan kamu aja tadi. Udah ah, kita ganti topik aja. Gimana kalau kita mampir ke cafe di seberang? Katanya ada menu baru loh... mau gak?"

"Pufh! Kamu itu ya... kalau masalah pergantian topik obrolan pasti cepet dan selalu tepat. Ayo kita ke sana, aku juga udah denger soal itu dan penasaran banget," ucap Jessi setuju dengan ajakan Lusi.

"Ayo! Aku udah gak sabar juga," ucap Lusi dengan cepat menarik tangan Jessi dan membawanya keluar dari kelas yang mulai sepi itu.

Ke duanya berjalan menuju cafe yang ada di seberang kampus dengan candaan yang tidak pernah habis. Sesekali Jessi tertawa terpingkal mendengar lelucon yang di lontarkan Lusi dan sesekali Lusi tidak bisa menahan tawanya saat Jessi membalas lelucon yang dia buat. Tapi saat ke duanya baru akan menyeberang ke seberang jalan, tiba-tiba ada sebuah kejadian yang tidak terduga.

"Lepasin!" teriak seorang wanita yang tiba-tiba menggegerkan para pejalan kaki yang akan menyeberang.

Seorang Lelaki dengan tubuh lebih besar dari wanita itu dan memakai pakaian serba hitam sedang menyandera wanita itu dengan sebuah pisau yang siap untuk mengoyak kulit leher wanita itu.

Jessi dan Lusi yang menyaksikan kejadian itu terkejut bukan main. Ke duanya hanya bisa melangkah mundur sama seperti yang lain.

"Gimana nih Jess..., kasihan tauk... ada apa sih sebenarnya?" ucap Lusi yang ketakutan sekaligus cemas.

"Sebaiknya kita gak usah ikut campur Lus," jawab Jessi sambil meremas mantel hitamnya tanpa sepengetahuan Lusi.

DEG! DEG!

Jantung Jessi tiba-tiba berdetak dengan sangat kencang. Napasnya mulai tak beraturan dan dadanya terasa amat sesak. Namun meski begitu, Jessi mencoba untuk menahannya dan menyembunyikan serangan paniknya itu dari Lusi.

"Siapa pun tolong aku," rintih Wanita yang disekap oleh Lelaki itu.

"Jangan mendekat! Kalau ada yang mendekat aku tidak akan segan-segan untuk melukai kalian," ucap Lelaki itu memperingatkan.

Ketika salah satu dari para saksi akan menelepon polisi tiba-tiba Lelaki itu kembali berteriak,

"Jangan! Jangan berani-berani kalian menelepon polisi. Kalau kalian lakuka itu, aku akan membunuhnya di sini."

Situasi pun menjadi tak terkendali saat Lelaki itu mulai menggores leher wanita yang dia sekap. Meski tak begitu parah namun darah segar mulai mewarnai pisau yang terlihat sangat tajam itu.

Cangkang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang