Bab 8. Di bawah naungan senja.

1 1 0
                                    

"Hah..., akhirnya hari ini akan berakhir lagi. Kenapa waktu berjalan begitu cepat?" ujar Jessi saat melangkah keluar kampus dengan Lusi yang berjalan beriringan dengannya.
"Kenapa kamu sedih? Seharusnya kamu tuh seneng karena dengan berjalannya waktu secepat ini maka kita tidak perlu merasa bosan dengan hari ini, iya gak?" sahut Lusi sambil meletakkan beberapa bukunya ke dalam tas.
"Bukan begitu, aku mengatakan hal semacam ini karena aku terlalu menikmatinya dan berharap waktu tidak berjalan secepat ini," ujar Jessi mencoba untuk memberi sudut pandangnya pada Lusi.
"Bukan karena kamu takut mati?" sahut Nathan yang tiba-tiba bergabung dengan Jessi dan Lusi.
"Apa? Anak satu ini kalau ngomong asal muluk sih... pengen tak tonjok deh mulutnya," gumam Lusi dengan suara yang cukup lantang untuk terdengar di telinga Nathan.
"Jadi... apa jawabnnya?" tanya Nathan yang tidak memdulikan gumaman Lusi.
"Hah... untuk apa aku takut mati? Bukannya semua orang akan mati semua? Jadi untuk apa aku takut mati?" jawab Jessi menyangkal pendapat Nathan.
"Ya kan bisa saja, mungkin karena suatau kejadian yang membuatmu trauma dan takut mati," sahut Nathan sambil menaikkan ke dua bahunya.
"Hah... dia memang suka ngomong sembarangan. Udah yuk Jess, kita pergi aja... gak usah ngurusin orang kayak dia," ucap Lusi sambil menarik tangan Jessi dan meninggalkan Nathan yang tidak mau kalah.
"Tunggu!" Nathan menghentikan Jessi dengan menarik tangan yang satunya.
Jessi menoleh pada Nathan dan menatapnya dengan tanda tanya yang tak hanya satu.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Lusi sambil menatap Nathan dengan kesal.
"Apa yang aku lakukan? Tentu saja menghentikan Jessi, untuk apa lagi? Apa kamu gak bisa baca situasinya?" jawab Nathan sambil menahan tangan Jessi.
"Kamu pasti sudah gila. Apa alasanmu menghentikan Jessi? Kamu suka padanya? Atau... kamu mau mengganggunya seperti tadi?" tanya Lusi dengan tangan yang terus mempertahankan Jessi untuk tetap ada di sisinya.
Jessi hanya bisa menatap ke sisi satu dan sisi yang lainnya secara bergantian. Dia ingin terlepas dari situasi yang terasa aneh itu, tapi sayangnya ke dua tangannya ditahan terlalu erat oleh Lusi dan Nathan.
"Kalau aku menjawab aku suka dengan Jessi apa kamu akan percaya? Kalau aku jawab aku ingin mengganggunya sepertinya itu bukan pilihan kalimat yang tepat. Jadi, aku akan menjawab karena aku ingin mengenal Jessi lebih banyak dari sekadar Jessi yang bodoh, bagaimana? Apa ini cukup untuk membuatmu melepaskan tangannya?" jawab Nathan yang terus berusaha mendapatkan Jessi dalam perebutan itu.
"Tentu saja tidak! Sebagai sahabatnya mana bisa aku membiarkan Jessi pergi dengan orang gila sepertimu," sahut Lusi yang tidak mengizinkan Nathan mendapatkan apa yang dia mau.
"AAARRRGGGHHH! CUKUP!" teriak Jessi sambil melepaskan ke dua tangannya dari Lusi dan Nathan meski tangannya terasa amat sakit.
Lusi dan Nathan terdiam melihat wajah kesal Jessi.
"Aku akan pergi sendiri. Kalian tidak perlu ikut atau pun membuntutiku dari belakang. Kalau kalian mengikutiku, aku akan teriak dan mengatakan kalian penguntit, mengerti?" ujar Jessi yang sangat kesal dengan perdebatan Lusi dan Nathan.
"Aku pergi," ucap Jessi lalu pergi meninggalkan Nathan dan Lusi.
"Wah... dia memang mengerikan saat benar-benar kesal. Sebaiknya aku pergi sendiri. Dan kamu!" ucap Lusi sambil menunjuk ke hidung Nathan.
"Jangan coba-coba mengganggu Jessi disaat seperti ini. Saat dia kesal dia bisa berubah menjadi sangat mengerikan. Aku mengatakan ini karena aku tahu kamu akan tetap mengikutinya, aku akan senang kalau kamu tidak menuruti kataku, dengan begitu kamu akan mendapatkan balasan karena sudah berani berdebat denganku melalui kekesalan Jessi, bye...!" ucap Lusi memperingatkan Nathan dengan harga diri yang tetap dia pertahankan.
"Hah... ini lumayan merepotkan. Inilah yang tidak aku suka saat harus berurusan dengan wanita, mereka terlalu sulit ditebak," gumam Nathan sambil membenarkan lengan kemejanya.
(Di depan lift gedung apartemen Jessi)
"Hah...! Kenapa mereka harus memperebutkan seperti barang? Membuatku kesal saja," gumam Jessi sambil menunggu pintu lift terbuka.
"Kamu benar-benar bodoh atau hanya salah paham?" tanya Nathan yang sudah ada di samping Jessi.
"Ka-kamu? Kan aku sudah bilang untuk tidak mengikutiku, apa kamu tidak dengar?" ucap Jessi yang masih kesal dengan kejadian beberapa waktu lalu.
"Kamu itu memang ya... terlalu cepat menyimpulkan. Apa kamu lupa? Aku tinggal di gedung ini," jawab Nathan dengan santai sambil menunggu pintu lift terbuka.
"Hah... aku benar-benar lupa kalau dia tinggal di sini, menyebalkan. Seharusnya aku gak langsung pulang tadi," gumam Jessi sambil menundukkan kepalanya.
"Gak perlu malu gitu, aku akan melupakan kejadian hari ini jadi jangan terlalu malu begitu," ucap Nathan sambil melangkah masuk ke dalam lift yang sudah terbuka.
"Kamu gak masuk?" tanya Nathan pada Jessi yang hanya terdiam di depan lift.
"Hah... sial! Hari ini terasa lebih panjang dari kemaren," gumam Jessi sambil melangkah masuk ke dalam lift.
Untuk sesaat keadaan menjadi sangat sunyi sampai Nathan membuka balon obrolan yang tidak diinginkan Jessi.
"Bukankah itu yang kamu inginkan?" tanya Nathan dengan tiba-tiba.
"Ha?"tanya Jessi sambil menoleh pada Nathan.
"Bukanny itu yang kamu inginkan? Waktu terasa lebih panjang? Kamu kan tidak suka waktu berjalan dengan cepat," jawab Nathan menjelaskan maksud dari pertanyaannya.
"Ouh itu, kamu masih mengingat kejadian tadi rupanya," ujar Jessi terlihat lemas.
"Kamu sakit?" tanya Nathan yang sadar ada sesuatu yang berbeda dari Jessi.
"Gak kok, aku cuman ngantuk aja," jawab Jessi mengelak.
"Apanya yang ngantuk? Mukamu pucat banget," ucap Nathan yang khawatir dengan kondisi Jessi.
"Aku benar-benar gak papa," ucap Jessi dengan nada yang lemah.
GRAP!
Nathan menarik tangan Jessi dan menariknya ke dalam pelukannya.
"Nathan? Apa yang kamu lakukan?" ujar Jessi sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari dekapan Nathan.
"Tubuhmu terasa sangat dingin, kamu benar-benar sakit," ucap Nathan yang akhirnya yakin dengan kondisi Jessi yang tidak begitu baik.
"Nathan... lepaskan!" ucap Jessi sambil memukul tubuh Nathan dengan tangannya yang lemah.
"Jangan terlalu egois Jessi. Kamu kedinginan, tubuhmu pucat dan juga lemah. Kamu harus tetap ada di dekapanku supaya kondisimu tidak menjadi lebih parah," ucap Nathan yang tidak mau menuruti kemauan Jessi.
Jessi menatap ke dua mata Nathan yang terlihat berbeda dari sorotan mata Nathan yang dia lihat di kampus. Sorotan mata Nathan yang dilihat Jessi saat itu sama dengan sorotan mata Nathan yang dia temui untuk pertama kali. Dalam dan penuh dengan lubang hitam.

Cangkang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang