Bab 7. Sesuatu yang lain.

1 1 0
                                    

Di tempat yang lain namun di waktu yang bersamaan dengan obrolan Jessi.
"Ya! Akan saya pastikan. Ya Pak! Saya tidak akan mengecewakan Bapak. Saya pasti melakukannya sesuai dengan perintah," ucap Nathan dengan seseorang dibalik panggilan yang serius itu.
"Baik Pak," sambung Nathan sebelum mengakhiri panggilan rutinnya itu.
Nathan memasukkan telepon sekali pakainya ke dalam tas lalu berjalan menjauh dari tempat yang sepi itu.
"Aku harus bergegas kalau begini," ujar Nathan sambil berjalan menuju kantin kampus.
Nathan, dia bukan hanya sekadar sosok aneh seperti yang dipikirkan Jessi. Nathan memiliki banyak sekali rahasia yang tidak diketauhi orang biasa. Dia adalah sosok misterius yang akan membuat satu persatu rahasia dikehidupan Jessi terungkap.
(Di Kantin Kampus)
"Eh, kamu ngerasa ada yang aneh gak sih dari Si Aneh itu?" tanya Lusi dengan tiba-tiba setelah memandangi layar ponselnya untuk beberapa saat.
"Si Aneh? siapa maksudmu?" tanya Jessi tidak mengerti siapa yang dimaksudkan oleh Lusi.
"Si Anak Baru itu," jawab Lusi sambil menghela napas.
"Ouh, Si Nathan. Aku kira siapa. Memangnya kenapa dengan dia?" tanya Jessi tidak mengerti dengan maksud Lusi.
"Hmm, begini... aku sudah mencari ke semua situs web dan juga akun media sosial tentang dia, dan kamu tahu apa yang aku dapatkan? Nothing! gak ada apa pun yang bisa aku gali tentang dia," jawab Lusi terlihat kesal sekaligus frustasi dengan usaha yang tidak menghasilkan sesuatu yang dia inginkan.
"Maksudmu?" tanya Steven yang sedari tadi memperhatikan.
"Jadi gini, kalian tahu kan kalau aku ini ahli dalam bidang ini?" tanya Lusi membanggakan keahlian yang dia miliki.
"Tentu saja kamu yang terbaik, lalu kenapa?" jawab Jessi membenarkan ucapan  Lusi.
"Dan karena aku ahli dalam bidang ini, tentu saja aku tidak pernah gagal dalam menggali informasi apa pun. Aku selalu mendapatkan informasi yang aku inginkan tapi ini, ini seperti sesuatu dari dunia lain," jawab Lusi yang terlihat semakin kesal.
"Dunia lain? Maksudmu?" tanya Jessi yang tidak mengerti arah pembicaraan Lusi.
"Maksudku, di era ini, era digital dan tekhnologi... harusnya setiap orang punya catatan di media sosial atau pun dunia digital tapi Si Nathan ini, dia tidak memiliki catatan apa pun. Dia seperti orang dari dunia lain alias dari era yang tidak menggunakan semua yang ada di era ini. Bukankah aneh?" jawab Lusi menjelaskan betapa anehnya Nathan menurut pendapatnya.
"Ouh gitu. Jadi kamu mau bilang kalau Si Nathan ini gak punya media sosial atau pun catatan apa pun di internert?" ucap Jessi menyimpulkan apa yang di jelaskan Lusi dengan bahasanya sendiri.
"EXACTLY!" sahut Lusi sambil mengacungkan ibu jarinya.
"Apa kamu sudah mencari di situs kampus?" tanya Steven yang mendengarkan dengan saksama dan juga sependapat dengan Lusi.
"Tentu saja sudah," jawab Lusi yang tidak mungkin melewatkan situs kampus dari daftar pencariannya.
"Apa yang kamu dapatkan?" tanya Steven yang berpikir keras tentang apa yang sedang terjadi.
"Di sini cuman ada informasi mendasar tentang dia. Seperti alamat rumah, nama orang tua dan lain-lain," jawab Lusi terlihat kecewa.
"Apa itu?" tanya Jessi terlihat tertarik untuk mengetahui hal-hal tentang Nathan.
"Yah, dia anak satu-satunya dari keluarga yang pas-passan di sebuah gang kecil di dekat perusahaan CC Entertainment. Dan sekarang dia tinggal sendirian karena ke dua orang tuanya sudah meninggal di sebuah insiden kebakaran sebuah desa," jawab Lusi sambil menyandarkan tubuhnya di badan kursi.
"Insiden kebakaran desa? Apa yang kamu maksudkan desa Yongnam? kejadian sepuluh tahun lalu?" tanya Jessi dengan mata yang menyelidik.
"Hmm, kamu masih ingat rupanya dengan insiden itu. Yah, bisa dibilang, Nathan adalah salah satu keluarga dari mereka yang meninggal karena insiden itu," jawab Lusi yang merasa sedikit iba dengan Nathan.
"Tidak perlu merasa kasihan begitu denganku," ucap Nathan yang tiba-tiba bergabung dengan tim makan siang Jessi dan membuat ke dua mata Lusi membesar saat menatapnya.
"Ka-kamu? Sejak kapan kamu di sini?" tanya Lusi sambil berdiri dan mendorong kursinya dengan sangat mendadak.
"Hmm... sejak kamu menjawab sebelum aku datang," jawab Nathan.
"Atau bisa dibilang sejak kamu mulai mengasihaniku sebagai anak yatim piatu," sambung Nathan dengan senyuman di bibirnya.
"Hah! Sial!" gumam Lusi sambil menarik kursinya dan duduk sedikit menjauh dari Nathan.
"Nah... karena kalian sedang membicarakanku, bagaimana kalau aku sambung dengan perkenalan diriku?" ujar Nathan terlihat biasa saja setelah mendengarkan obrolan tentang dirinya di belakangnya itu.
"Ha? Maksudmu?" tanya Jessi terlihat tidak mengerti dengan maksud Nathan.
"Kamu itu susah memahami ucapanku atau karena kamu memang sedikit bodoh?" ujar Nathan membuat Steven langsung menatapnya dengan penuh amarah.
"Hah... dia memang orang seperti itu. Aku sempat lupa hanya karena dia adalah salah satu keluarga korban dari insiden itu," gumam Jessi di dalam hati sambil memejamkan ke dua matanya.
"Hah! Kata-katamu memang identik dengan mengintimidasi orang lain ya," ujar Jessi sambil melanjutkan makan siangnya.
"Jadi... kamu mulai memperhatikanku ya..., aku tidak percaya ternyata diam-diam kamu memperhatikanku sampai sadar dengan gaya bicaraku," sahut Nathan sambil meletakkan tangannya di atas meja dan memandangi Jessi dengan senyuman.
"Sejak kapan kalian dekat?" tanya Steven tiba-tiba dengan sorotan mata yang tidak suka dengan cara Nathan mendekati Jessi.
"Sejak kemarin," jawab Nathan sepihak.
"Dekat? yang benar saja. Sejak kemaren? apa maksudmu? Kita kan hanya bertemu karena kebetulan dan tidak terjadi sesuatu, jangan suka ngomong asal deh," ucap Jessi sambil menyenggol kaki Nathan dengan diam-diam.
Nathan hanya terdiam sambil menatap ke dua mata Jessi dengan penuh tanda tanya.
"Iya kan Nathan... mana mungkin kita dekat, kita cuman berusaha untuk menjadi ramah satu sama lain saja, iya kan...?" tanya Jessi dengan memaksakan senyumannya.
Nathan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum aneh.
Lusi dan Steven memperhatikan Jessi dan Nathan dengan sejuta pertanyaan tersirat dari sorotan mata mereka.
"Baiklah kalau kamu bilang begitu. Awas saja kalau ada yang kamu sembunyiin dariku, tamat riwayatmu Jess," ujar Lusi yang memutuskan untuk mempercayai ucapan Jessi.
"Hah... terserah deh. Kalau gitu aku pergi dulu ya, ada sesuatu yang lupa aku kerjakan," ucap Steven yang memutuskan untuk memisahkan diri dari grup obrolan itu.
"Tiba-tiba?" tanya Jessi yang tahu betul sikap Steven.
"Iya, aku lupa kalau hari ini aku yang piket menata buku untuk jam selanjutnya, aku pergi dulu," jawab Steven sambil berdiri lalu pergi meninggalkan Jessi dan lainnya.
Lusi yang tahu perasaan Steven pada Jessi mengerti dengan benar kalau Steven pergi bukan karena tugas palsu itu melainkan karena dia merasa cemburu dengan kedekatan Jessi dengan Nathan yang tidak lebih dari sekadar mahasiswa baru itu.

Cangkang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang