Bab 2. Bertemu lagi.

11 7 12
                                    

Hari itu Jessi harus terbaring di atas ranjang rumah sakit dan memberikan beberapa penjelasan singkat pada Lusi dan Steven.

"Aku bener-bener gak papa Lus," ucap Jessi sambil melemparkan senyuman ringan pada Lusi.

"Beneran udah gak papa? Gak boleg bohong loh Jess, aku kaget banget pas kamu pingsan tiba-tiba tadi. Kenapa kamu gak pernah cerita kalau kamu bisa kenak serangan panik kayak tadi? Kenapa kamu gak pernah cerita kalau...."

"Lusi... Jessi baru sadar, kamu mau buat dia pingsan lagi dengan sederatan pertanyaan tanpa titik darimu?" ucap Steven memotong pertanyaan Lusi untuk Jessi.

"Hah... bener juga. Kalau gitu aku pending dulu deh introgasinya. Yang penting sekarang Jessi udah gak papa, mau langsung pulang atau mampir ke cafe yang tadi?" ucap Lusi yang sangat piawai mengganti topik pembicaraan.

"Emang Lusi ya... bisa-bisanya ngajak orang yang baru masuk UGD ke Cafe, dasar kamu ini," celetuk Steven sambil memukul kepala Lusi dengan kepalan tangannya.

"Aw! Sakit tauk Stev," rintih Lusi sambil menguncir bibirnya ke depan.

Jessi yang melihat dua sahabatnya bertengkar di depannya itu pun hanya bisa tertawa dan menikmati momen itu. Namun, di balik tawa Jessi sebenarnya dia menyimpan banyak sekali kekhawatiran akan sesuatu yang berusaha dia sembunyikan dari ke dua sahabatnya itu.

"Suatu hari mereka pasti akan tahu juga, aku harus mempersiapkan diri untuk hari itu," ucap Jessi di dalam hati dengan senyuman palsu di wajahnya.

Setelah keluar dari rumah sakit, Jessi memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Sebenarnya Lusi dan Steven bersikeras untuk menemani Jessi pulang tapi Jessi menolak permintaan ke dua sahabatnya itu dengan alasan dia ingin mengunjungi makam Ibunya. Jika Jessi sudah berkata demikian itu artinya dia sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun termasuk Lusi dan Steven. Lusi dan Steven tidak tahu dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan Jessi namun meski sangat ingin tahu tentang kehidupan Jessi, ke duanya tetap memutuskan untuk tidak bertanya karena mereka tidak mau menyulitkan Jessi dengan mengingat kembali masa lalu yang bahkan tidak ingin dia ingat.

Jessi benar-benar mengunjungi makan Ibunya yang meninggal dalam sebuah kecelakaan sepuluh tahun lalu.

Jessi menatap batu nisan Ibunya dengan senyuman di bibir namun dengan mata yang berbinar. Perlahan Jessi melangkah menghampiri batu nisan Ibunya lalu meletakan sebuah bunga carnation berwarna kuning di depan batu nisa Ibunya.

"Hah... apa kabar Bu? Apa Ibu masih bisa tersenyum melihatku berdiri di depan batu nisanmu? Ibu pasti sedang tertawa melihatku dari atas sana. Bagaimana bisa seorang pembunuh datang dan mengunjungi makam korbannya? Bukankah aku tidak tahu malu?" Jessi berdialog sendiri dengan air mata yang mulai membasahi ke dua kelopak matanya.

"Hah... sudah sepuluh tahun sejak kejadian hari itu. Andai saja aku tidak pernah melakukannya, apa mungkin sekarang aku bisa makan malam denganmu Bu? Aku tidak pantas mengatakan ini tapi... aku sangat merindukanmu Bu... maafkan aku Bu... seharusnya aku tidak pernah terlahir sebagai putrimu sehingga Ibu tidak perlu mengalami nasib buruk seperti ini." air mata Jessi benar-benar tidak terbendung lagi. Air matanya mengalir dengan deras dan membasahi ke dua matanya dan membuat napasnya kembali terasa sesak.

"Kenapa kamu datang lagi ke sini?" tiba-tiba seorang Lelaki yang lebih muda dari Jessi satu tahun muncul dan langsung menatap Jessi dengan sorotan mata yang sangat tajam.

"Aku akan segera pergi jadi kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya datang untuk menyapa Ibu meski aku tidak pantas untuk itu," jawab Jessi sambil mengusap air matanya.

"Kamu benar-benar tidak tahu diri Kak," ucap Lelaki itu sambil berjalan menghampiri Jessi.

"Aku tahu itu," jawab Jessi dengan senyuman kecil di wajahnya.

"Bunga carnation kuning? Hah... bahkan kamu membawa bunga yang tidak layak," ucap Lelaki itu sambil mengambil bunga yang di bawa Jessi lalu membuangnya.

"Bunga itu bukan untuknya tapi untuk mengingatkanku betapa buruknya aku, aku pergi, semoga harimu menyenangkan Justin," ucap Jessi menjelaskan arti dari bunga yang dia bawa itu lalu pergi meninggalkan Lelaki yang dulu adalah orang yang sangat menyayangi Jessi.

"Kak," panggil Lelaki itu menghentikan langkah kaki Jessi.

"Berapa kali aku harus mengatakannya padamu? Kamu tidak pantas menyebut namaku. Jangan berpikir hanya karena aku masih memanggilmu Kakak dengan begitu kamu bisa menyebut namaku. Aku memanggilmu begitu karena aku tidak bisa menyebut namamu," sambung Justin yang tak lain adalah adik Jessi.

"Hah... kamu benar, aku hampir lupa dengan siapa diriku. Mana bisa seorang pembunuh menyebut nama dari anggota keluarga korban dengan begitu akrab. Maaf," sahut Jessi sebelum akhirnya dia melangkah pergi meninggalkan makam orang yang sangat dia sayangi itu.

Justin menatap batu nisan Ibunya lalu meletakan bunga carnation putih di depan batu nisan itu.

"Lagi-lagi kami bertemu Bu, tapi tidak ada yang berbeda dari kami. Masih saling menyalahkan dan tidak bisa memaafkan. Apa Ibu senang melihat kami seperti ini? tentu saja tidak. Tapi sayangnya untuk memaafkan terlalu sulit Bu," ucap Justin di dalam hati sambil menatap batu nisan Ibunya dengan sorotan mata yang penuh kesesakkan.

Jessi berjalan menyusuri jalan pemakaman yang sepi. Aroma bunga-bungan segar yang ditanama di sekitar makam membuat Jessi memutar kembali rekaman sepuluh tahun lalu.

Hari itu, Jessi sedang duduk di pekarangan rumahnya yang di penuhi dengan warna warni bunga yang di tanam Ibunya. Aroma yang dihasilkan pun sangat menyegarkan dan menenangkan pikiran. Dengan bibir yang tersenyum lebar Jessi hendak memetik sebuah bunga berwarna kuning yang menarik perhatiannya.

"Kenapa kamu memetik bunga yang itu Jessi?" tanya Ibu Jessi yang datang dengan tiba-tiba dan membuat Jessi gelagapan.

"Ah itu... Jessi... Jessi tidak bermaksud merusak pekarangan bunga Ibu. Tangan Jessi bergerak dengan sendirinya, maaf Bu," ucap Jessi mencoba membela dirinya sendiri.

"Hah... apa Ibu terlihat sedang marah? Ibu hanya bertanya, kenapa kamu memetik bunga ini?" ucap Ibu Jessi sambil membelai rambut Jessi dengan senyuman yang hangat.

"Ah... jadi Ibu tidak marah. Syukurlah..., Jessi suka bunga ini Bu. Terlihat sangat cantik dan menarik, pasti artinya secantik bunganya, iyakan Bu?" ucap Jessi dengan senyuman yang hampir menyamai senyuman Ibunya.

"Jessi..., biar Ibu kasih tahu nama dan arti bunga ini. Nama bunga ini carnation, dan artinya berbeda-beda tergantung dengan warnanya. Kalau yang Jessi petik ini memiliki arti emosi penolakan, kebencian, dan kekecewaan pada seseorang," jelas Ibu Jessi membuat Jessi langsung membuang bunga yang ada di tangannya itu.

"Ah... kenapa artinya seperti itu," ucap Jessi dengan ekspresi tak terduganya.

"Tapi..., kalau yang ini, yang warnanya merah muda memiliki arti melambangkan cinta abadi seorang Ibu atau cinta seorang wanita yang tidak pernah mati," sambung Ibu Jessi sambil memetikan bunga carnation yang berwarna merah muda lalu memberikannya pada Jessi.

"Ibu sangat menyayangimu Jessi," ucap Ibu Jessi sambil memeluk Jessi dengan penuh kasih sayang.

"Aku juga menyayangi Ibu," balas Jessi sambil memetikkan bunga yang sama lalu memberikannya pada Ibunya.

Mengingat saat-saat itu Jessi kembali meneteskan air matanya. Ke dua kakinya terasa lemas seperti kehilangan tenaga untuk melangkah. Akhirnya Jessi memutuskan untuk duduk sebentar di atas sebuah kursi dan menumpahkan sesak di dadanya.

"Maafkan aku Bu. Aku tidak bisa memberikan bunga itu lagi padamu. Yang bisa aku berikan padamu hanyalah bunga carnation kuning, bunga itu akan selalu mengingatkanku dengan semua kesialan yang aku berikan padamu. Bunga itu selalu mengingatkanku betapa kecewanya Ibu padaku, betapa bencinya Justin padaku dan betapa marahnya aku pada diriku sendiri," ucap Jessi berdialog pada dirinya sendiri dengan air mata yang terus membasahi pipinya.

"Ini bukan tempat untuk menangisi masa lalu dan berdialog sendiri untuk mengungkapkan penyesalan yang sia-sia." Tiba-tiba seorang Lelaki yang tidak asing lagi untuk Jessi datang dan menyahuti dialog Jessi pada dirinya sendiri itu.

"Kamu?"

Cangkang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang