Bab 4. Lelaki itu bernama...

9 1 0
                                    

Pertemuan Jessi dengan Lelaki itu misterius itu tidak berhenti sampai di sana saja. Siapa yang akan mengira jika pertemuan mereka pada hari itu hanyalah sebuah awal dari kisah mereka yang sebenarnya.
"Jess... Jess... Jessi!" panggil Lusi dengan sedikit menaikan pita suaranya di akhir panggilannya yang tak terjawab oleh Jessi.
"Hah... ada apa sih Lus?" tanya Jessi dengan malasnya mengangkat kepalanya dari atas meja.
"Itu... kamu gak kenapa-napa kan setelah pulang dari rumah sakit? Aku kirim pesan tapi gak kamu balas terus aku telepon No kamu gak aktif, kamu baik-baik aja kan?" jelas Lusi yang mengkhawatirkan Jessi semenjak kejadian di hari itu.
"Aku baik-baik aja kok. Maaf ya, kemarin aku langsung istirahat sepulang dari makam jadi gak buka handphone seharian," jawab Jessi sedikit berbohong pada Lusi.
"Ouh gitu, syukurlah... aku pikir terjadi sesuatu padamu. Ya udah deh, kalau gitu lanjutin aja tidur siangmu," ucap Lusi sambil melemparkan senyuman tipis pada Jessi.
"Kamu mau ke mana?" tanya Jessi yang melihat Lusi berdiri dari kursinya.
"Mau ketemu sama Steven," jawab Lusi singkat tanpa penjelasan.
"Uhuy... yang mulai maju, udah deh Lus... gak usah kelamaan, nanti keburu diambil sama cewek lain," goda Jessi dengan semangatnya.
"Hah... dasar kamu ya, perasaan tadi lemes kayak gak punya tenaga buat angkat kepala tapi sekarang... kamu bahkan terlihat seperti orang yang terlalu baik-baik saja. Aku pergi dulu," sahut Lusi yang tidak begitu memedulikan saran Jessi.
"Bilang aja kalau kamu suka, gak usah kelamaan dipendem," teriak Jessi yang terus menggoda Lusi yang berjalan keluar kelas.
Jessi kembali meletakan kepalanya di atas meja dan memejamkan ke dua matanya. Hangatnya sinar matahari di pagi hari yang sampai melalui jendela di dekat meja Jessi membuat perasaan Jessi terasa hangat sehangat sinar matahari itu sendiri.
"Ternyata kamu itu tukang tidur ya," ucap seorang lelaki yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di kursi sebelah Jessi.
Jessi membuka ke dua matanya perlahan dan dia langsung mengangkat kepalanya dan menatap Lelaki yang duduk di sampingnya itu dengan tajam.
"Apa arti dari sorotan matamu itu? Apa kamu seterkejut itu melihatku di sini? Seharusnya kamu bilang kalau kuliah di sini juga jadi aku bisa berangkat bareng sama kamu dan gak perlu pusing cari jalan ke kelas ini," ucap Lelaki yang tak lain adalah Lelaki yang ditemui Jessi di atap gedung apartemennya.
"Hah... apa? Aku gak salah denger? Buat apa aku kasih tahu kamu di mana aku kuliah dan kenapa aku harus memberitahukan hal seperti itu pada orang yang bahkan gak aku kenal." ucap Jessi yang kesal dengan sikap Lelaki aneh itu.
"Hmm, mungkin karena aku tahu rahasiamu," jawab Lelaki itu dengan sorotan matanya yang licik.
"Cek! Dasar orang licik," celetuk Jessi sambil mengalihkan sorotan matanya dari wajah Lelaki itu.
"Aku mendengarnya," ucap Lelaki itu sambil menyandarkan kepalanya di kepala kurisnya.
"Hah... apa maumu?" tanya Jessi dengan malasnya.
"Mauku? pertanyaanmu salah, seharusnya yang kamu tanyakan 'apa yang harus aku lakukan?' seperti itu lebih tepatnya," ucap Lelaki itu dengan senyuman di bibirnya.
"Hah... kenapa aku harus bertemu dengan Lelaki seperti dia? Menyebalkan," celetuk Jessi sambil meletakkan kepalanya di atas meja sambil mengeluhkan kesialannya.
"Mungkin karena kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu," sahut Lelaki yang terus mengusik Jessi itu.
"Baiklah... terserah apa katamu tapi yang jelas aku tidak senang dengan takdir yang kamu maksudkan itu. Pertama, hidupku sudah terasa menyesakkan sebelum bertemu denganmu dan sekarang hidupku tidak hanya menyesakkan tapi juga menyebalkan," ucap Jessi sambil bangun dari kursinya dan bersiap meninggalkan Lelaki yang dengan santainya menatap ke dua mata Jessi yang jelas-jelas menatapnya dengan sorotan mata yang tidak suka.
"Tunggu!" ucap Lelaki itu menghentikan Jessi dengan menarik tangannya.
Jessi menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Lelaki yang terus menerus mengganggunya.
"Bukankah kamu terlalu tidak sopan dengan orang yang memegang rahasiamu?" tanya Lelaki itu sambil berdiri dan melepaskan tangan Jessi.
"Kamu pikir apa yang kamu lihat kemarin adalah hal penting untukku? Aku rasa kamu salah paham," ucap Jessi berusaha untuk tidak terlihat terintimidasi dengan ucapan Lelaki itu.
"Benarkah? Tapi dari yang aku lihat seperti itu. Kalau begitu bagaimana kalau kita cari jawabannya?" ucap Lelaki itu yang terlihat merencanakan sesuatu.
"Maksudmu?" tanya Jessi tidak mengerti dengan ucapan Lelaki itu.
"Kamu akan segera tahu. Baiklah semuanya... tolong perhatikan aku sebentar. Aku akan memperkenalkan diriku sebelum kelas dimulai. Namaku Nathan, aku baru saja pindah ke lingkungan ini beberapa hari lalu. Meski baru beberapa hari berada di lingkungan ini tapi aku sudah mengalami banyak kejadian yang membuatku terus bertanya-tanya," ucap Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Nathan itu.
Jessi langsung menarik tangan Lelaki itu untuk kembali duduk.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Jessi dengan menahan dirinya untuk tidak menaikan pita suaranya pada Nathan.
"Mencari jawaban," jawab Nathan sambil tersenyum kecil menantang Jessi.
Nathan kembali berdiri dari kursinya dan melanjutkan perkenalan dirinya pada seisi kelas yang mencurahkan waktu mereka untuk mendengarkan kelanjutan cerita Nathan.
"Pertama, aku bertemu dengan Lelaki gila yang berani menyandera seorang wanita di depan  umum lalu setelah itu aku bertemu dengan wanita yang lebih gila dari Lelaki itu. Kalian tahu kenapa aku menyebutnya gila? karena dia terlihat seperti orang yang berbeda di waktu yang sama. Kami bertemu tiga kali di hari itu, pertama dia memberikan pertolongan padaku, ke dua aku menemuinya di makam untuk membalas budi lalu setelah itu, ini yang sangat membuatku bingung. Di atas sebuah gedung, aku kembali bertemu dengan wanita itu dan dia sedang...."
"Cukup!" ucap Jessi sambil membungkam mulut Nathan dengan ke dua tangannya.
"Ayo ikut aku!" sambung Jessi sambil menarik tangan Nathan dan membawanya keluar dari kelas.
Nathan tersenyum tipis melihat jemari Jessi menggenggam erat pergelangan tangannya dan mengikuti langkah kaki Jessi dengan senang hati.

Cangkang KosongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang