Bab 1

117 7 0
                                    

"Cinta membuatku lupa dengan kata malu. Bahkan dengan sendirinya menarik paksa untuk jatuh terlalu dalam. Cinta juga membuatku buta akan hal apa yang diterima."

Bell pulang sekolah berbunyi lima menit yang lalu, dan Zee masih duduk di kursinya bersama Alana yang selalu setia bersamanya.

"Nungguin gue buat nawarin lo pulang bareng?" tanya Deev saat tepat di samping tempat duduk Zee. Zee bangkit dari duduknya dan menoleh pada Deev.

"Gak usah geer ya. Gue masih punya urusan di sekolah." Zeepun mendorong dada bidang Deev dengan telunjuknya, seakan ia ingin menarik rasa yang ada di hatinya.

"kalau lo mau pulang, silahkan anak baru. Gue gak sama sekali minta atau memohon sama lo buat bisa balik bareng. Sorry," ucap Zee dengan penuh penekanan disetiap katanya. Ia benar-benar tak menyangka jika sifat asli Deev akan terlihat hari ini juga.

Zeepun berlalu dari hadapan Deev yang masih berdiri di tempat. Melihat itu Alana segera ikut berlari mengejar Zee. Ia tahu, Zee pasti pergi ke rooftop, apapun masalahnya, rooftop tempat terbaiknya.

Benar saja, Zee berada di sana. Matanya menatap langit yang sedang mendung, mungkin saja hujan akan segera turun.

"Zee, apa lo lagi pengen berbagi?" tanya Alana. Ia tahu, kondisi hati Zee sedang buruk. Gadis itu memang selalu ceria dan terlihat tidak peduli dengan apa yang menimpanya, namun ia sama sekali bukan orang yang pandai menyembunyikan lukanya saat di hadapan Alana. Mungkin karena mereka sudah sangat dekat dan tahu sifat satu sama lain.

"Gue tahu Lan, gue gak cantik, gue juga tahu kalau gue gak selalu bisa dapetin apa yang gue mau. Setiap kali gue suka sama cowok pasti aja gue sakit hati Lan. Seburuk itu ya gue sampai gak ada yang mau sama gue?" jelas Zee dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Kini bukan hanya langit yang mendung, namun suasana hati Zee bahkan jauh lebih mendung.

"Zee, enggak gitu. Tuhan cuman pengen ngasih tahu kalau Deev itu gak baik buat lo. Sebelum lo jatuh terlalu dalam sama dia, Tuhan lebih dulu ngasih tahu sama lo. Lagian juga lo kenal dia belum dua puluh empat jam 'kan?"

"Gue benci aja sama diri gue sendiri. Kenapa gue sebego ini? Gue gak punya Ayah, gue juga gak punya Ibu, gue jelek, gue miskin, gue juga enggak pinter." Zee merutuki dirinya yang memiliki banyak kekurangan itu. Seakann hidupnya dihantui dengan ketidakpunyaan. Ia ingin bisa hidup dengan wajah yang cantik, keluarga yang lengkap, dan semua berjalan dengan normal.

"Lo cantik Zee, lo juga pinter, cuman lo gak mau belajar aja."

"Ngapainsih lo masih mau nemenin gue? Gue 'kan gak ada manfaatnya buat lo."

"Gue sayang sama lo Zee, gue sahabat lo. Dan gue akan selalu ada di sini buat lo."

Zeepun berhambur ke pelukan Alana. Selama ini Alana yang selalu menemaninya, dan hanya dia yang tahu masalah hidupnya. Zee terlalu terlihat biasa di depan banyak orang, bahkan dia juga cenderung anak yang ceria, namun hanya Alana yang tahu kalau dia adalah seorang yang rapuh dan mudah menangis.

"Kalau lo lagi pengen nangis, nangis aja Zee. Gue temenin lo di sini kok."

Akhirnya air mata itu lolos dari mata Zee. Rasa sakitnya ingin ia keluarkan saat itu juga.

"Sejelek itu ya gue sampai Deev nolak gue sebelum gue nyatain perasaan gue?" tanya Zee di tengah-tengah tangisnya.

"Zee jangan mulai deh, Deev cuman ngasih tahu lo biar lo gak sakit hati nantinya. Cuman karena lo suka sama dia, lo jadi beranggapan lebih," jelas Alana.

"Gue mau Ayah hiks ..."

"Setiap gue sakit hati sama cowok gue selalu inget Ayah," kata Zee lagi dengan suaranya yang mulai melemah.

DeeZeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang