Prolog

81 9 0
                                    

"Akan ada pelangi setelah hujan." Kata yang selalu aku cerna hingga saat ini. Bertahun-tahun aku menantikan pelangi itu, namun hujan deras masih tak henti mengguyur kehidupanku.

Bunda, aku rindu, aku ingin kembali kepelukanmu, mendengar nyanyianmu sebagai pengantar tidurku, dan kecupanmu yang selalu membuka pagiku.

Ayah, boleh aku menjadi puteri kecilmu yang menangis meminta permen kapas? Tertidur dalam pangkuanmu, dan merengek tak ingin ditinggal pergi bekerja? Aku rindu itu Ayah.

Semua seakan terenggut paksa oleh kehidupan nyata yang masih belum bisa aku terima. Aku hanya ingin kembali menjadi Zee kecil yang selalu ceria dan berlari mengitari danau kecil yang menyejukkan.

Zeevanya Aleshara.

🍂🍂🍂

Hamiza. Wanita yang telah berusia lanjut itu membuka pintu kamar cucu-nya dengan pelan, hingga tampaklah ruangan yang gelap gulita. Ia tahu, kalau cucu-nya itu akan tidur dengan tenang jika keadaan ruangan benar-benar gelap. Menurutnya, kegelapan akan membuahkan
ketenangan. Hamiza lantas melangkah ke jendela kamar untuk membuka tirainya, hingga pancaran matahari masuk menerangi ruang kamar itu.

Gadis yang tengah terlelap itu, perlahan terusik oleh cahaya matahari yang menyorot ke arahnya. Matanya perlahan terbuka hingga menampakan bola mata yang cantik dan menarik untuk ditatap.

"Nenek, Zee masih ngantuk," ucap Zee dengan malas, ia selalu tak suka jika ada yang mengganggu ketenangannya saat tertidur.

Hari-harinya terasa sangat sulit hingga ia selalu membutuhkan waktu tidur yang panjang, bahkan ia sempat berpikir untuk mengakhiri hidup, namun ia urungkan mengingat kehidupan tak akan selesai jika hanya pergi meninggalkan bumi.

"Sekarang hari senin, dan kamu harus sekolah." Zee mengembuskan napasnya dengan kasar, ia benci sekolah. Terlalu tak asik rasanya jika harus bergelut dengan bacaan dan rumus-rumus yang sangat memusingkan. Ia hanya ingin berdamai dengan hari, dan menikmati setiap embusan napasnya.

"Cepat mandi dan siap-siap. Nenek sudah siapkan sarapan buat kamu." Setelah itu, Hamiza berlalu dari hadapan Zee yang tampak masih betah dalam balutan selimut. Jujur saja, Zee ingin berteriak dan bilang tak ingin sekolah. Namun lidahnya terasa kelu untuk menyanggah setiap ucapan dari Neneknya, karena untuk saat ini, hanya Neneknyalah yang selalu menemani hari-harinya.

Dengan sangat terpaksa, Zee bangkit dari tidurnya, dan menuruti perkataan Sang Nenek untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Ya, sekolah. Hal yang tak ingin ia lakukan, tapi tetap harus dilaksanakan.

Tak butuh waktu lama untuk Zee bersiap ke sekolah. Ia juga tak suka jika harus menghabiskan waktu berlama-lama hanya untuk tampil cantik, menurutnya, dengan sederhana juga sudah membuat dirinya tampak cantik dan natural.

"Zee, cepat sarapan, nanti kamu telat," panggil Nenek Hamiza.

Zeepun yang merasa sudah siap segera memenuhi panggilan Nenek-nya untuk sarapan.

Di sana sudah ada Nenek Hamiza yang sedang menyendokan makanan untuk Zee. Zee selalu merasa beruntung memiliki Nenek sebaik Nenek Hamiza. Jika tidak, mungkin saat ini ia sedang berada di jalanan, dan mengemis untuk sekedar mengisi kekosongan perut.

"Kamu tahu sekarang jam berapa?" Mendengar pertanyaan itu, Zee segera melihat jam tangannya. Sial, 07:00. Tiga puluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup, dan ia membutuhkan waktu dua puluh menit untuk sampai di sekolah.

Dengan cepat, Zee menghabiskan sarapannya, dan pamit untuk pergi ke sekolah. Tak lupa, ia memakai sepedanya yang sudah siap di halaman rumah.

Pagi ini benar-benar melelahkan,rasanya ia ingin berbelok dan nongkrong di cafe saja, tak usah ada rumus dan hafalan yang akan memenuhi otaknya.

DeeZeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang