Bab 11

96 5 0
                                    

Aksa termenung di pinggir kolam renang. Kakinya di celupkan di air menenggelamkan betisnya.

Bulan berpendar di langit malam.

Dia ingin lari dan meminta sopirnya mengantarnya ke mana saja untuk menghilangkan kekesalannya pada ayahnya. Tapi ayahnya sudah lebih dulu memerintah kan sopir dan satpam rumahnya untuk tidak membiarkan dia pergi. Dia sangat muram segara ke kolam dan duduk di tepi kolam sejak tadi.

“Papa akan melepaskan anak itu.”

Dia menengok ke asal suara.

Ayahnya berdiri pakaian yang sudah berganti. Jeans sedengkul dan kaos abu-abu pendek. Berbingkai kaca mata yang menghiasi tampilan santainya. “Sekarang kembali ke dalam, Papa memasak makanan kesukaan ibumu.” Itu adalah bentuk permintaan maafnya pada Aksa atas persetujuan mereka tadi sore. Anaknya akan selalu menghabiskan hidangan yang menjadi favorit mendiang istrinya itu. Dia juga tidak membiarkan anaknya keluyuran ke luar. Walau dia tahu Aksa pasti akan ke rumah Remi kalau sedang ada masalah dengannya. Tapi kali ini dia tidak ingin anaknya meninggalkan rumah. Dia ingin Aksa mendinginkan kepalanya di sini. Dia sedang tidak ingin jauh dari anaknya. Kerinduannya pada Milady melesat tajam dan hanya putranya yang bisa meredamnya. Aksa menarik kakinya dari kolam dan mengikuti Farras. Sesampainya di dekat meja makan, Bi Arti berseru memanggilnya. “Den.”

Aksa menoleh. “Ada temannya di depan.”

“Siapa?” tanya remaja itu datar.

“Den Johan, Den Haikal dan Den Badron.”

Aksa segera ke luar. Farras yang tidak senang anaknya dikunjungi oleh kawanan yang senang membuat masalah dengan anaknya itu tidak tinggal diam dan menyusul Aksa.

Bi Arti kembali ke belakang.

Di luar. Lebih tepatnya di pelataran rumah, dengan dua sedan mewah terparkir berjejer di sana. Mantan-mantan sahabatnya itu berdiri canggung dengan tas ransel tersampir di bahu mereka. “Ada perlu apa?” ucap Aksa datar.

Farras mengawasi mereka dari teras. Dia akan menghalangi siapa pun yang mencoba melukai putranya baik secara verbal atau fisik. Anak-anak urakan itu diberi balasan yang setimpal kalau mereka mengganggu anaknya di bawah pengawasannya. Dia tidak akan main-main. Satu luka akan didera lecutan ribuan luka. Mungkin ini terlampau berlebihan, tapi dia rasa itu pantas karena berani mengusik anak semata wayangnya.

Johan yang sangat malu menekan ego dan kesombongannya  untuk menemui Aksa –musuh bebuyutannya. Kalau saja ini tidak berkaitan dengan nyawanya dia tidak sudi untuk mengunjungi rumah ini. Aksa sudah menghajarnya waktu itu. Gara-gara dia Seoul yang sakit jiwa itu mengancamnya dan menakut-nakuti dia dan teman-temannya. Kalau bukan karena terpaksa dia tidak pernah ingin menginjakkan kakinya di sini.

Johan berdeham. Untuk mengurangi kekakuannya. Dia mengarahkan matanya ke om Farras yang ada  di dekat pintu masuk. Tatapan mengintai dari Om Farras seolah ingin mengulitinya. Dia cukup tahu seberapa sayang lelaki bertubuh tegap itu pada Aksa. Dia ingin menghindari masalah lain. Kalau Om Farras tahu atas kelakuan tidak baik mereka pada Aksa, dia tidak yakin kalau dia, Haikal juga Badron bisa selamat dari amukan pria itu. Bukan amukan yang diselingi gelegar amarah bersama teriakan. Om Farras lebih senang mengambil tindakan yang lebih kejam dari itu. Itu terbukti dari dengan nasib di pengendara yang tidak sengaja menabrak Aksa. Pengendara itu akan mendekam seumur hidup kalau saja mendiang tante Milady tidak berusaha keras membujuk pria tampan dan dingin itu.  “Gue pengen ngomong sama loe, bisa enggak kalo loe ikut kita.”

“Dia sini saja,” kukuh Aksa pelan namun tanpa ekspresi.

“Tapi ...”

“Kalau tidak mau, kita bisa bicara besok pagi di sekolah.”

Wanita yang Ku Cintai (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang