Bab 22

32 3 0
                                    

Pukul 06.30 WIB.

Aneh.

Mungkin itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan sikap Aksa selama beberapa hari ini.

Sejak dia keluar dari rumah sakit, Aksa selalu berupaya untuk memberi perhatian lebih padanya. Meski mukanya masih datar, tapi dia paham kalau itu bentuk perhatiannya. Sejak obrolan mereka saat dia sedikit di tekan oleh Farras, Aksa selalu turun tangan langsung membantu. Aksa tidak membiarkan ayahnya memberi menolongnya. Aksa membantu ke kamar mandi, dia juga yang merangkul pinggangnya ketika dia pulang ke hotel. Dia memaksa untuk tetap menjaganya dan hampir mangkir dari field trip-nya di hari ke tiga, tapi berkat perintah yang mengandung ancaman dari Farras, akhirnya dengan muka kesal dia mengikuti kegiatan di hari ke tiga sampai hari terakhir yaitu hari kelima mereka berada di Yogyakarta. Seoul ingin di hari keempatnya, tapi Farra, Ya Tuhan ... dia mencegahnya untuk ikut serta. Alasannya, dia belum cukup sehat untuk mengikuti kegiatan. Padahal, Ardy sudah memberi izin, tapi lagi-lagi mantan adik iparnya itu kalah debat oleh businessman yang pastinya sudah handal dalam urusan negosiasi untuk menggaet calon investor atau mitra kerja yang sudah dia incar. Jadi tidak heran kalau dia selalu bisa membalas setiap perkataan tenang walau terkadang terkesan menyudutkan dan memaksa.

Farras juga yang menjaganya di kamar yang dia sewa khusus untuknya. Farras tidak ingin dia satu ruangan dengan gadis yang pernah menganiayanya, jadi dia dengan otoriternya menyuruhnya untuk tinggal di kamar yang tepat berada di samping kamar Farras yang juga dihuni oleh anaknya. Sebenarnya, ini menguntungkan baginya, tapi dia merasa ini berlebihan. Dia disewakan kamar lain oleh ayah dari temannya. Bukankah itu akan menimbulkan spekulasi negatif dikalangan para siswa yang ikut dalam karya wisata kali ini. Menurut teman-teman sekolahnya, dia dan Farras tidak memiliki hubungan kekerabatan. Jadi bukan tidak mungkin kan kalo mereka menilai dia ada main dengan Farras -walau sebenarnya pria itu masih suaminya, tapi mereka tidak tahu. Tapi, dia yang tidak tahu harus bersikap bagaimana hanya mengikuti kemauan Farras meski kepalanya seakan akan mengeluarkan asap karena nasibnya sebelas dua belas dengan dia yang dulu. Jika dulu dia mengalah dengan suka rela, tapi di hotel dia harus menuruti kemauan Farras dengan kejengkelan yang meletup-letup di dadanya.

Lupakan kejadian menyebalkan dua minggu yang lalu itu. Sekarang kita kembali pada little boy-nya yang duduk di sebelahnya dengan muka selurus jalan tol dan tidak mengucapkan sepatah katapun sedari tadi dia menaiki mobil.

Apa mungkin ini langkah awal Aksa untuk menunjukan perasaannya padanya, lewat tindakan. Seoul mendadak pening. Dia memijat pelipisnya. "Kau sakit?"

Itu pertanyaan pertama yang diucapkan Aksa, mengusir kesunyian yang mengelilingi mereka sedari tadi seraya menoleh ke arahnya. Seoul menghentikan pijatannya. Gadis itu menengok dengan mata yang sipitkan. "Justru aku yang seharusnya bertanya, apa kau tidak sehat?"

Seoul memindahkan punggung tangannya ke dahi Aksa. "Tidak demam," komentarnya sembari menurunkan tangannya. "Tapi kenapa sikapmu selama dua minggu ini berubah drastis. Kau bahkan tidak protes atau kesal saat aku menyentuhmu. Kau berubah perhatian sejak di rumah sakit."

"Itukan perubahan yang kau inginkan?" katanya setelah mengubah pandanganya menikmati jalan yang di sesaki oleh para pengemudi-pengemudi lain.

Benar. Itu memang yang Mama inginkan. Tapi, ini juga yang membuat Mama khawatir. Mama takut melukai perasaanmu.

"Apa kau mulai menyukaiku?"

Manic hitam jelas terkejut. Tapi Seoul tidak bisa melihatnya. Pertanyaan yang memicu kinerja jantungnya. Aksa mengelak, "Kau berpikir terlalu," sinis Aksa. Menyembunyikan perasaannya. "Apa menerimamu sebagai teman sudah membuat daya khayalmu melesat tajam. Hingga kau mengira kebaikanku adalah wujud dari sayangku sebagai lawan jenis."

Aksa menyangkal. Seoul tahu itu. Tapi dia akan berpura-pura mempercayainya. Paling tidak ini akan menghindari Aksa dari rasa sakit. Dia tidak ingin Aksa mengakui rasa yang dia punya untuknya. Dia tidak mau baby kecilnya terluka.

"Aku kira kau memang memiliki perasaan lebih padaku," ujarnya lesu dibubuhi kekecewaan. "Aku pikir kau akan masuk ke barisan lelaki yang mengantri untuk mendapatkanku dan bersaing dengan Remi dan yang lain."

"Jadi kau sangat senang dikejar." Dengan nada mencela.

"Siapa yang tidak suka memiliki pengagum. Kebanyakan gadis suka diburu oleh para pemujanya, itu adalah nilai tambah bagi kami untuk menjadi semakin populer."

"Penggila popularitas."

"Tidak," sanggah Seoul. "Itu bukan tujuanku ketika aku memilih sekolah di sini."

"Kau memiliki tujuan?" Aksa mulai tertarik dengan apapun yang berhubungan dengan gadis ini. "Apa tujuanmu?"

Kau, Nak.

"Menuntut ilmu. Mempelajari budaya yang berbeda dari budaya dari tanah kelahiranku," jawab Seoul berakting seceria mungkin iringi percikan semangat di matanya.

"Aku rasa bukan itu tujuanmu."

Tidak mudah mengelabui anaknya ini. "Kau pintar," puji Seoul. "Aku kemari memang untuk tujuan lain. Aku ingin menggaet seorang pemuda yang mau menikah denganku dan memberiku banyak anak. Aku terobsesi untuk menikah muda." Seoul berkata dengan penuh harap. "Apa kau mau menikah denganku?"

Aksa otomatis menggerakkan kepalanya dan memerhatikan Seoul seolah gadis itu tidak normal. "Sinting."

Tawa Seoul yang terdengar ringan itu meluncur bebas dari bibirnya. "Aku hanya bergurau," akunya geli. Dia mencubit pipi Aksa. "Kenapa kau bisa seserius ini."

Lengkungan itu terbit di kedua sudut bibirnya. Aksa tidak pernah sesenang ini sejak kematian ibunya. Gadis yang dia nilai rendah dan tidak tahu diri ini mampu merebut hatinya. Dia akan mengakui perasaan disaat yang tepat nanti. Dia ingin Seoul selalu ada di sampingnya dan tidak pergi ke manapun.

Sesampainya di tempat parkir, Remi sudah menunggu mereka. Dia kesal saat dihari ketiga kegiatan karya wisata ketika mereka tengah berada di museum, Aksa mengatakan padanya kalai dia akan bersaing dengannya untuk mendapatkan Seoul. Jelas Remi langsung tersentak kaget dan tertawa hambar sembari mengatakan bahwa Aksa hanya bercanda. Tapi Aksa dengan muka serius dan tanpa ekspresi menyanggah kalau dia tidak sedang bergurau. Remi langsung mencak-mencak dan melarang Aksa untuk mendekati Seoul, tapi Aksa tidak menggubrisnya dan malah sibuk melihat benda-benda yang terpajang di dalam museum.

Dia pasti akan kalah kalau Aksa benar-benar berniat bersaing dengannya sebab Seoul sejak awal memang terlihat menyukai Aksa. Tapi dia tidak akan menyerah, selama mereka belum meresmikan hubungan mereka ketahap pacaran, dia masih memiliki peluang untuk memacari Seoul dan menjadikan gadis cantik itu kekasihnya. Remi menyapa Seoul lembut dan Seoul yang baru keluar dari pintu belakang menyapanya balik. Remi mencebik, "Kau tidak adil," keluhnya.

"Memang apa yang aku lakukan?" tanya Seoul.

"Kau selalu mau diantar pulang-pergi ke sekolah oleh Aksa, tapi kau tidak mau menerima ajakan pulang denganku," terangnya sebal. Aksa selalu mencegahnya ketika hendak naik mobilnya untuk bisa satu kendaraan dengan Seoul. "Bukankah kita teman?"

Seoul baru akan menyahut tapi Aksa menarik lengannya pelan dan sebelum pergi dia menyindir Remi pelan. "Dia tidak akan menjadi temanmu lagi kalau kau bersikeras merayunya untuk menerima ajakanmu."

Remi menggerutu di belakang mereka. "Kau sama kejamnya dengan ayahmu. Seoul itu sahabat kita, tapi kau selalu memonopolinya. Benar-bener tidak setia kawan.

Seoul yang tergelitik menahan diri untuk tertawa.

Mereka memasuki gedung sekolah.

Wanita yang Ku Cintai (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang