Bab 32

162 5 0
                                    

"Tidak, dia tidak terpaksa,” ralat Seoul. “Dia langsung menyetujui nya ketika aku memintanya untuk berpura-pura menjadi pamanku.”

Aksa tidak percaya ini. Pria korea yang di temuinya di depan ruang kepala sekolah itu memiliki umur yang setidaknya di atas tiga puluh tahun. Dia memang lebih muda dari ayahnya tapi dia juga terlihat lebih tua  dari adik bungsu ibunya. Pria itu memang rupawan, dia juga memiliki pembawaan yang hangat. Tapi usia Seoul terpaut sangat jauh dengan pria itu jadi itu tidak mungkin. “Itu pasti hanya alasanmu untuk menolakku,” tandasnya

Kau pasti hanya mencari-cari alasan untuk menolakku,” tukasnya berselimut emosi dalam ketajaman dari cara bicaranya. “Kau memadamkan semangatmu untuk memperjuangkan apa yang aku mau. Dia tidak mungkin kakasihmu.”

“Apa aku harus membawakan dokumen mengenai keluargaku?” lontarnya teguh berusaha menyakinkan Aksa. “Untuk menunjukan bahwa Ming Guk bukan pamanku,” urainya tegas namun pelan. “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai seorang gadis seperti yang kau inginkan. Karena sampai kapanmu aku tidak akan memenuhi harapanmu.”

“Lalu kenapa kau membuatku salah paham?” cecarnya menuntut jawaban.  “Kau memberi perhatian lebih padaku? Kenapa kau berupaya sejauh itu untuk berada di dekatku? Kau mengabaikan segala kesinisanku, kau juga tidak pernah marah ketika aku melontarkan kata-kata tajam yang bisa membuat gadis-gadis lain sakit hati. Jelaskan padaku kenapa?”

Anaknya lebih banyak berbicara. Dia meluapkan segala macam amarah yang menggempurnya saat ini. Dia ibu yang buruk. Tapi dia harus membuatnya berhenti. “Karena melihat kau begitu kesepian saat pertama kali aku menginjakkan kakiku di kelas,” katanya beralasan. “Di saat lelaki lain sangat antusias dan jatuh hati padaku, kau malah bersikap cuek dan tidak peduli denganku. Itu membuatku penasaran dan ingin mengenalmu lebih jauh.”

Matanya menyimpan kekosongan, sedih tapi juga marah. Aksa tertawa marah. “Jadi, hanya karena penasaran?” katanya mencela bercampur sakit. “Lalu sekarang bagaimana? Setelah kau sudah mendapatkan yang kau mau, apa sekarang kau akan pergi? Setelah kau membuatku menaruh perasaan padamu, kau akan meninggalkanku, hmm?” Seoul ingin menyanggah tapi Aksa keburu berujar kembali. “Kau memang sangat pintar mempermainkan perasaan orang lain,” sinisnya kecewa.  Dia ingin beranjak pergi, namun Seoul menahan lengannya. “Kau harus mendengarkan penjelasan ku dulu.” Aksa menyentak lengannya kasar. Bergegas pergi bersama amarah dan luka yang dia bawa. Dia bahkan meninggalkan tasnya. Seoul mengejarnya dengan  menjnjing ransel Aksa. Ransel hitam yang dia pilih untuk anaknya itu.

Seoul menghalangi langkah Aksa. “Kau harus mendengarkan penjelasan ku,” ulangnya. Dia menyodorkan ransel itu pada Aksa. Seoul tertegun kaget. Saat Aksa membanting tas itu kasar. “Sesuatu yang mengingatkanku padamu membuatku jijik.” Aksa lekas pergi dan menenggamkan tubuhnya di dalam lift. Seoul tercenung sedih. Dia menurunkan tubuhnya, memungut tas yang dia pilih dan di beli oleh Farras. Dia memeluk tas itu dengan sebelah tangan dan memutar badannya menghadap ke lift yang di gunakan anaknya. Mematrikan tatapan sendunya pada pintu lift yang tertutup itu. “Kata-katamu barusan menyakiti Mama, Nak ... “ lirihnya sedih.

••••

Dua setengah jam kemudian ...

Farras menunggui Aksa di ruang tengah. Dia melirik jam di tembok yang sudah menunjukan pukul 23.30 WIB. Malam ini dia makan malam sendiri. Dia tidak ingin menggangu waktu anaknya dengan gadis yang dia cintai. Sekalipun batinnya tergores, tapi dia ingin memberikan lebih banyak waktu agar mereka bisa saling merekatkan hubungan.

Tapi sudah larut malam seperti ini anaknya belum juga pulang. Dia mengeluarkan telepon seluler nya dari dalam saku dan berusaha menghubungi ponsel Aksa tadi tapi ponselnya tidak aktif.

Wanita yang Ku Cintai (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang