Aksa membuka layar handycam.
Memutar kembali video ibunya. Dalam video berdurasi dua puluh menit itu, lbunya yang tengah mengenakan daster lengan pendek selutut motif batik lowo biru itu tengah menyiram bonsai kesayangannya. Bonsai yang dibelikan ayahnya dengan harga yang tidak murah. Bibir sang ibu terkembang mengetahui dia sedang merekamnya. Masih jam sepuluh pagi waktu itu, ayahnya berada di perpustakaan. Iseng dia merekam ibunya yang alami tanpa riasan dan hanya dengan pakaian rumah dengan rambut di gerai menjuntai hingga ke pinggang.
‘Ibuku selalu cantik bahkan tanpa memakai make up,' komentarnya dalam video tersebut.
'Mama tidak secantik tantemu.’
‘Tante memang cantik. Tapi Mama lebih bercahaya menurutku.’
Tawa ibunya terdengar renyah. Aksa yang duduk di kursi belajarnya itu memunculkan senyum sedih. ‘Karena ini masih pagi, sayang. Coba kalau malam dan Mama ada di tempat yang gelap apa mungkin ibu masih bercahaya?’
‘Aku bisa menyorot muka Mama dengan senter.’
Dia terus menonton moment-moment bahagia itu. Lima bulan sebelum kejadian na'as itu terjadi. Merenggut nyawa ibunya hingga masih meninggalkan bekas kehampaan, kehancuran juga luka yang mendalam hingga berpengaruh pada kepribadian nya.
Meski sudah empat bulan lebih berlalu, tapi batinnya masih suka menangis ketika ingatan itu kembali pada ibunya. Rumah tidak sehangat dulu dan ...
Suara ketukan membubarkan segala macam hal yang menghinggapi kepalanya. Ditaruhnya handycam tersebut di meja. Dia mendekat ke pintu ketika dibuka ayahnya segera berkata, “Papa sudah menyiapkan makan malam kita. Ayo turun.”
Aksa menutup pintu. Berjalan beriringan menuruni tangga spiral yang bentuknya unik melengkung berputar ke bawah. Tanpa ada bicara. Diusianya yang sudah berkepala empat, Farras masih tampak awet muda. Dengan kaos berkerah putih lengan pendek, celana olah raga hitam melekat di kaki panjangnya serta kaca mata minus berbingkai hitam mengimbangi anaknya yang membukus badannya dengan celana cargo pendek juga kaos hitam di sebatas siku.
Farras memang pribadi yang pendiam, tapi tidak dengan putranya. Aksa sesungguhnya adalah anak yang hangat dan ramah. Dia juga berhati lembut dan tidak bisa melukai seekor semut pun. Dia lebih mirip ibunya entah itu soal sikap atau wajah. Gen ibunya lebih dominan pada Aksa. Tapi sejak empat bulan yang lalu dia seakan menjadi seperti dirinya. Yang tidak banyak berbicara dan tertutup.
Hubungannya yang dekat dengan Milady mengantarkannya cenderung seperti anak manja namun manis. Aneka itu sering memintanya untuk tidur bersama dengannya padahal dia sudah berusia 16 tahun. Dia tidak malu ketika teman-temannya tahu tentang itu bagi anaknya tidur seranjang dengan ibunya bukan aib. Itu adalah bentuk ikatan yang kuat antara anak dan ibu. Tidak peduli seberapa sering Johan mengejek Aksa tentang sikap kekanak-kanakan itu dia tidak merasa malu sedikitpun.
Mendiang istrinya itu mengabdikan dirinya untuk mengurusnya juga mengurus Aksa. Ketika Milady hamil, dia memintanya untuk berhenti bekerja dan dia menuruti perkataannya. Dia juga manut ketika dia memintanya untuk hanya menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurusnya juga Aksa. Dia selalu mengalah ketika dia mulai tersulut emosi. Dia menghargainya sebagai suami dan menghormatinya kepala rumah tangga. Dia juga mempersembahkan seluruh hatinya hanya untuknya juga untuk Aksa. Dia memperlakukan pembantu rumah tangga juga satpam dan supir mereka dengan baik. Dia istri teladan dan kata baik saja seperti nya tidaklah cukup untuk menggambar kan sosok Milady. Kelembutan juga kehangatan selalu mengisi rumah besar yang sekarang dingin setelah sepeninggalnya.
Aksa seakan kehilangan pegangan karena kepergian Milady. Anak itu tidak mau membagi bebannya itu pada siapapun. Bahkan pada dia yang notabene nya adalah ayahnya juga tidak. Ardy –wali kelas Aksa juga sahabatnya semasa SMP dulu—itu memberitahukan bagaimana sikap anaknya menjauhi pergaulan. Begitu juga dengan kakak iparnya yang juga mengetahui kelakuan Aksa yang tidak segan memukul temannya ketika dia tengah marah. Dia meminta Aksa untu menemui psikolog tapi anak itu tidak mau. Akhirnya dialah yang menemui seorang psikolog untuk memecahkan masalahnya dalam menghadapi perubahan sikap Aksa. Dia juga mulai belajar memasak, tidak lagi mengambil kerja lembur di kantor dan pulang diawal waktu. Dia mencurahkan semua perhatiannya pada Aksa. Kalaupun ada pekerjaan yang membutuhkan perhatian lebih, dia akan membawanya ke kantor dan mengerjakannya setelah Aksa tertidur. Dia berusaha mengisi kekosongan di hati anaknya yang hilang setelah Milady tidak lagi di sisi mereka. Dia dulu lebih banyak memfokuskan diri pada pekerjaan hingga terkadang keluarganya kurang mendapatkan porsi yang semestinya. Sekerang dia ingin membayarnya meski itu tanpa Milady.
“Bagaimana sekolahmu.” Farras mulai membuka obrolan. Aksa menelan makanannya. “Biasa saja,” katanya tak acuh terus menggerakkan alat makannya dan memasukan potongan cumi pedas itu ke mulutnya tanpa mengangkat tatapannya.
“Papa dengar ada murid baru pindahan dari KorSel. Gadis yang mencuri perhatian teman-temen sekelasmu.”
Rasa jengkel Aksa kembali lagi. “Gosip menyebar dengan cepat rupanya,” sinisnya. Pak Ardy pasti melaporkan semuanya pada Papa. Karena Cuma ada dua orang yang tahu persis tentang di sekolah, wali kelasnya atau Om Rega(Kakak Milady). Yang tahu tentang keadaan kelas saat gadis itu muncul, Hanya pak Ardy.
“Itu fakta, nak,” balasnya tenang menghentikan aktivitas makannya sejenak. Mengawasi anaknya dari tempat duduk. “Katanya dia cantik.”
“Di sekolah banyak yang lebih cantik darinya.”
“Tapi dia menarik, Ardy bilang dia sangat manis dan ramah.”
“Papa tertarik padanya?”
“Papa hanya ingin melihat seberapa besar minatmu padanya.”
“Papa tidak berniat menikah lagi?”
“Kau mencoba menggeser topik pembicaraan kita?”
Aksa mengabaikan pertanyaan ayahnya. “Kudengar banyak yang wanita mengantri sampai ada yang sering datang rutin ke kantor untuk menemui Papa.”
“Kalvian mengadu padamu?” Sekretaris nya itu sangat dekat dengan anaknya. Terkadang anaknya agak menekannya agar dia menceritakan semua tentang dirinya saat di kantor. Aksa menjadi kesayangan ayah juga ibunya karena dia adalah cucu tunggal mereka. Perusahaan itu masih dimiliki penuh oleh ayahnya. Jadi tidak akan mustahil kalau ayahnya memecat Kalvian kalau anaknya sudah ada maunya.
“Aku tidak keberatan Papa menikah lagi.” Lagi-lagi Aksa tidak menjawab keingintahuan Farras.
“Kau rela Papa menikah lagi?” Dia ingin menguji anaknya. Apa mungkin Aksa seikhlas itu kalau dia memilih wanita lain untuk menggantikan posisi ibunya yang tidak akan pernah tergantikan itu.
Aksa menyahut dengan santai tidak peduli. “Aku tidak keberatan. Itu hak Papa. Tapi aku tidak bisa tinggal satu atap istri Papa nanti.”
Ucapan Aksa terkesan sambil lalu. Tapi itu sebenarnya menyiratkan ancaman yang bisa artikan 'kalau dia menikah lagi, aksa akan angkat kaki di sini'. Dia tahu anak itu gelisah juga resah ketika banyak wanita-wanita yang selalu berusaha mendekatinya dan merebut status sebagai nyonya Thahir. Makanya dia selalu memantau keadaan kantor mengenai wanita-wanita agresif yang sering datang ke kantor itu. Aksa yang berubah tak acuh akan berubah seperti seperti elang yang melukai siapapun kalau itu menyangkut posisi mendiang ibunya. Dia juga hanya ingin menikah satu kali dan itu hanya dengan Milady. “Kau pikir ada yang bisa dibandingkan dengan ibumu?”
Tidak ada.
Aksa mengamati ayahnya tanpa melepaskan tatapannya.
“Istri Papa hanya Milady dan sampai kapanpun tidak akan berubah,” tukas Farras serius namun tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita yang Ku Cintai (End)
Roman pour AdolescentsFarras di tinggal istrinya untuk selama-lamanya. Dia memiliki anak yang berubah menjadi pendiam selepas kepergian sang istri yang tewas akibat kecelakaan. Namun, setelah empat bulan berlalu seorang gadis remaja bukan hanya mampu menarik perhatianny...