"KALIAN NGAPAIN KE SINI?!!" Win berteriak panik ketika melihat Khao, Prem dan Newwie datang berkunjung ke rumah.
Ketiga temannya itu memandang si manis bingung. Tumben sekali Metawin tampak tidak suka saat mereka datang berkunjung, padahal biasanya dialah yang paling semangat.
"Kenapa emang? Ga boleh?" Prem bertanya dengan wajah polosnya.
Sontak membuat Win gelagapan.
"B-bukan gitu, ada-"Belum juga ia menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara berat dari belakang.
"Metawin?"Yang dipanggil seketika membeku. Ia malas sekali bertemu dengan ayah tirinya itu semenjak kejadian perdebatan antara mereka beberapa hari lalu.
Bright menggeser sedikit tubuh Win yang menghalangi pintu berniat melihat siapa yang datang berkunjung ke rumahnya di siang terik seperti ini.
"Kenapa gak diajak masuk sih? Kasihan temen lo wajahnya udah pada merah." Bright berkata sembari membuka lebar pintu rumah mempersilahkan teman-teman Win masuk.
Metawin terdiam. Reaksi Bright benar-benar diluar ekspektasinya. Ia pikir dia akan marah jika ada temannya yang main ke rumah. Itulah yang menjadi alasan mengapa belakangan Win selalu beralasan ketika Khao, Prem dan Newwie ingin datang mengunjunginya.
Sementara ketiga orang yang masih setia berdiri diluar pintu memandang Win tajam, meminta penjelasan tentang kehadiran sosok lelaki yang mereka kenal sebagai mantan kekasih si manis.
Metawin menghela napas pasrah. Ditatapnya satu-persatu wajah teman-temannya yang sudah menuntut penjelasan.
"Nanti gue ceritain." Hanya itu yang mampu Win ucapkan. Dalam hati ia merapalkan doa agar ketiganya tidak marah.
Khao segera menerobos masuk, diikuti Newwie, Prem dan tentunya Metawin setelah selesai menutup pintu. Mereka berjalan menaiki tangga menuju kamar Win yang terletak di lantai 3, masuk kemudian menutup rapat-rapat pintu kamar berwarna putih tulang itu berharap seseorang diluar sana yang akan mereka bicarakan tak mendengar sedikit pun pembicaraan mereka.
"Jadi?" Tanya Khao to the point.
Metawin bergerak gelisah. Jujur ia masih ragu untuk menceritakan masalah hidupnya yang pelik.
"Bunda nikah sama dia."
Hingga rentetan kalimat itu meluncur dari belah bibirnya, seketika menghadirkan hening dalam ruangan.
"Kenapa gak pernah cerita?"
"Kita temen lo kan, Win?"
"Lo masih gak percaya sama kita bertiga ya?"
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan 3 temannya sukses membuat Win menunduk resah. Benar kan dugaannya? Mereka pasti marah dengan dirinya.
"Jadi ini alasan kenapa lo nyegah kita terus waktu pengen main ke sini?"
"Win, gue pikir kita temen deket yang udah bisa saling percaya satu sama lain. Tapi kenapa lo bahkan gamau cerita masalah kayak gini ke kita?"
"Kalo lo pikir kita marah karena pernikahan bunda sama Bright, lo salah. Kita cuma ngerasa gagal, kenapa di waktu lo butuh tempat buat bersandar di saat-saat terberat kita malah gak ada bahkan cuma buat ngerangkul lo."
"Metawin, lo tau kan seberapa sayangnya kita ke lo? Lo satu-satunya happy virus yang kita punya. Kalo lo nya sendiri lagi sedih, siapa yang nyemangatin kita? Siapa yang bakal ngingetin kita buat damai kalo lagi marahan?"
Dibiarkannya pertanyaan itu berlalu, Win beranjak dari duduk berjalan cepat ke arah ketiga temannya dan menerjang mereka dengan pelukan erat.
"Maaf maaf maaf... Maafin gue." Belasan kata maaf ia ucapkan bersamaan dengan pelukannya yang semakin mengerat.
Prem menepuk kepala Metawin lembut mencoba menenangkan pemuda manis yang masih erat memeluknya.
"Permintaan maaf diterima."
Win mendongak. Menatap mata mereka penuh binar harapan.
"Beneran?"Yang dibalas dengan anggukan kompak ketiganya.
"Jadi kita baikan nih?!!"
"Iya, tapi dengan satu syarat!"
"Jangan diulangi lagi."
Si manis melonjak senang, kembali memeluk satu-persatu pemuda-pemuda imut di depannya dengan senyum gigi kelinci yang tercetak jelas menghias paras indahnya.
☆☆☆☆
Gulf merentangkan tangannya menyambut sosok sang suami yang tampak lelah sepulang bekerja. Rentangan itu dibalas dengan hangat oleh lelaki tampan di hadapannya membuat seutas senyum mengembang di belah bibirnya.
"Udah mulai aktif kerja lagi ya?" Tanya Gulf lembut sembari mengusap pelan punggung Bright.
Dengungan samar terdengar.
"Iya, kan udah abis masa cutinya.""Kenapa tadi engga telpon aku dulu? Kasihan adek sendirian di rumah."
Pelukan keduanya melonggar. Bright menatap kedua mata Gulf teduh.
"Tadi ada temen-temen nya.""Siapa? Prem, Newwie, Khao?"
"Mungkin."
Gulf tertawa mendengar nada cuek dalam intonasi suaminya. Dengan lembut kembali ia tarik tubuh tegap itu dan memeluknya sekali lagi sebelum membubuhkan kecupan ringan di kening.
"Mau makan malem apa?"
"Terserah kamu aja."
"Spaghetti?"
"No problem."
"Yaudah, buruan mandi terus ganti baju sana. Aku siapin makan malemnya dulu." Ujar Gulf yang langsung di turuti Bright.
Lelaki tampan itu melangkah pergi meninggalkan dapur. Mengabaikan Gulf yang menatapnya dengan pandangan sulit diartikan.
"Sampai kapan harus pura-pura begini, Bri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Step Father
AcakTentang Win Metawin yang akan mempunyai seorang ayah tiri. Terdengar biasa, namun bagaimana jika lelaki yang akan dinikahi bundanya itu merupakan seseorang yang menjadi alasan atas masa lalunya yang menyakitkan?