◍1◍

637 66 22
                                    

Metawin terduduk di sebuah bangku taman dengan mengenakan setelan tuxedo berwarna baby blue. Menatap ujung sepatu pantofel hitam dengan pandangan muram.

Hari ini merupakan hari paling buruk dalam sejarah hidupnya sebab sesuatu yang tak pernah ada dalam bayangan terjadi. Jujur, ia bahagia ketika senyum manis tampak menghiasi wajah sang bunda setelah kurang lebih 7 tahun kepedihan mendominasi. Namun sebagian hatinya juga menolak kala kedua maniknya menangkap seseorang yang berdiri gagah berdampingan dengan bunda di atas altar.

Apa yang sedang Tuhan rencanakan untuknya? Apakah selama ini tidak cukup derita ya ia rasa? Mengapa sekali lagi dirinya harus kembali memikul beban di kedua pundaknya?

Win hanya tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti akan garis takdir hidupnya yang kacau berantakan.

Dengan tatapan kosong ia kembali menatap ke arah altar, memandang semua dari kejauhan tanpa ada niatan untuk mendekat. Hingga perlahan kedua manik coklatnya basah saat mengetahui bahwa perasaan itu tak pernah pupus walau sekian tahun telah terlewat.


☆☆☆☆


Pagi pertama setelah Bright resmi menjadi ayah tirinya. Sekarang masih pukul setengah tujuh pagi dan rumah bergaya modern milik keluarga Vachirawit, setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang telah ramai dengan Gulf yang sibuk di dapur membuatkan sarapan, Bright yang berolahraga di taman belakang dan si manis yang sudah menyatukan diri dengan air di kolam seluas 12 × 20 meter.

"Bright! Adek! Buruan sarapan!!" Hingga teriakan membahana membuat Bright seketika menjatuhkan barbel dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Tentu saja Metawin sama sekali tak peduli. Dengan santai ia kembali berenang, total mengabaikan panggilan bundanya.

"Loh? Adek mana mas?" Gulf celingukan mencari keberadaan si putra tunggal.

"Masih di kolam."

"Kenapa engga di ajak sekalian? Itung-itung saling mengakrabkan diri."

Lelaki tampan itu menggaruk tengkuknya canggung.
"Sungkan manggilnya."

"Apaan sih? Kan dia sekarang anak mu juga. Kalo adek ga nurut, pukul aja pantatnya."

Dibalas kekehan berat Bright yang mengalun lembut.
"Iya iya, nanti mas panggil."

Mereka berdua tertawa bersama layaknya remaja yang sedang dimabuk cinta. Bermesraan sebagaimana pasangan suami-suami yang lain lakukan, seolah dunia hanya milik berdua.

"Oh ya mas, habis ini aku mau ke butik sebentar. Titip adek ya, jangan lupa ajak dia ngobrol biar bisa cepet akrab sama kamu."

"Bukan nya kamu ambil cuti seminggu? Ngapain ke butik?"

"Ada beberapa costumer penting yang maunya dilayani aku doang."

"Hm... Jangan lama-lama."

Gulf tersenyum manis, sedikit berjinjit untuk mengecup ringan pipi lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya.
"Makasih mas, sayang mas banyak-banyak!!"

Yang kemudian lelaki tampan itu balas dengan usapan sayang di kedua pipinya. Bright merunduk, mencondongkan badannya ke depan bersamaan dengan kedua lengan yang melingkari pinggang Gulf. Mengusak wajah di perpotongan leher sang istri menghadirkan pekikan geli.

"Mas stop ish! Aku telat ke butik nih!"

"Yaudah buruan berangkat."

"Gimana bisa berangkat kalo mas masih peluk aku gini?!!"

Bright melepas pelukannya, menatap kedua manik Gulf dalam sebelum memberikan kecupan kupu-kupu di kening.
"Hati-hati, jangan ngebut bawa mobilnya, pelan-pelan aja yang penting nyampe."

"Siap mas!" Dan kedipan genit yang dilayangkan menjadi akhir dari percakapan mereka.


☆☆☆☆


"Mau sampe kapan ngehindar terus?"

Metawin menatap jengah lelaki yang berdiri di pinggir kolam.
"Apaan dah, ga jelas."

Bright memandang si manis yang masih sibuk berenang padahal wajahnya sudah memucat.

"Gue ayah lo sekarang. Lo gak akan bisa terus-terusan cuekin gue."

"Of course gue bisa. Gue tinggal anggep lo engga pernah ada, beres kan?"

Win dapat melihat bahwa rahang Bright mengeras, pertanda empunya sedang menahan amarah.

"Terserah lo! Dan inget, gausa bawa-bawa masa lalu di kehidupan yang sekarang. Saat ini gue dan lo cuma sekedar ayah dan anak."

Dipasangnya wajah menantang.
"Lagian siapa juga yang mau kenang masa lalu suram bareng cowo brengsek ga berguna, cih."

"Gue juga gak mau inget-inget cowo baperan dan lemah kayak lo!" Balas Bright sebelum meninggalkan Metawin sendirian.

Si manis mengusap wajahnya kasar. Sial, benar kata Bright jika dirinya lemah. Buktinya saja saat ini air mata telah menuruni kedua pipi gembulnya yang memerah.

Sekuat tenaga Win menggigit bibirnya agar isakan tidak keluar dari sana. Menenggelamkan diri ke dasar kolam demi menutupi wajah pucat penuh linangan air mata.

Beberapa kali ia menampar pipinya sendiri. Mencoba sadar akan keadaan yang sepenuhnya tak mendukung perasaanya.

"It's been a long time since you broke me apart."







"I even feel the pain."






"But my heart never let me to erase you."







"Maybe this is impossible."








"But I still want you."


☆☆☆☆


TBC...

























Step FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang