Prolog

161 28 32
                                    

Apakah ini teater film?

Orang-orang duduk di kursi penonton, proyektor bioskop diputar, layar putih terbentang di dinding utama. Bisa jadi komidi gambar nan bagus akan segera mulai. Ya, benar. Perempuan itu harus lekas bergabung bersama spektator lainnya, yang untung segenap terlihat sebaya, berkisar usia belasan sampai dua puluhan.

Namun, kalau dipikir-pikir, ukuran bilik gedung ini terlalu kecil, lebih mirip ruang makan keluarga. Selain itu, tata letaknya buruk. Kaca-kaca ventilasi terpasang terlalu tinggi. Meja panjang ditaruh di tengah, pada keempat sisinya berbaris kursi—yang tidak normalnya semua menghadap dinding utama—dan para penonton mengabaikan itu semua seakan mengidap suspension of disbelief.

Ah, sudahlah. Toh, sinema sudah mau dibuka.

Gambar hidup yang terproyeksi pada layar dinding utama mengalami alternasi dari tampilan blangko menjadi barisan kredit. Bukan. Perempuan itu salah kira. Yang mula-mula muncul tentu hitung mundur dahulu.

Siap? Tiga ... dua ... satu ....

Aplaus meriah tercipta. Tiap pasang mata tertuju pada layar. Perempuan itu pun ikut menonton.

Gambar yang tersaji ialah sebuah alat laboratorium sains berupa motor listrik dengan poros penggerak dan permukaan berbentuk cangkir yang terbuat dari karet. Ketika tabung reaksi berisi cairan ditekankan ke permukaan alat tersebut, terjadilah gerak berputar pada cairan dalam tabung.

Oh, tidak. Tadi itu kesalahan teknis.

Gambar berganti menjadi animasi berlatar biru laut dengan garis-garis hitam berputar membentuk pusaran.

Lumayan juga. Namun, apa memang para penonton harus menyaksikan gambar bergerak yang membosankan selama beberapa waktu ke depan? Bukankah ini bioskop mahal? Harusnya film-film bagus yang disetel seperti Avengers, Batman vs Superman, atau Star Wars.

Nah, benar, kan, apa dugaan si perempuan. Gambar berganti lagi.

Layar bertransisi beberapa waktu lamanya, menampilkan pendar berulang kali yang bisa-bisa menyebabkan penonton terkena epilepsi seperti kasus film kartun anak-anak di Jepang.

Gambar pun beralih untuk kesekian. Kali ini video yang ditampakkan berupa adegan berlatar tempat sebuah ... hutan? Ya, dengan orang-orang taruna berpenampilan seragam pramuka berkerumun di sana. Mereka membawa berbagai benda tajam, semacam parang, linggis, sabit, palu martil, gergaji kayu, cangkul, tombak, pisau, pedang, dan sejenisnya. Kemudian, mereka bunuh-membunuh, membacok kepala, menebas leher, memotong lengan, mengoyak perut, mencabik punggung, menikam dada, menusuk mata, menyayat kulit, mengiris kaki. Desah kepuasan berbaur laung kepedihan. Alhasil, para taruna bermandikan darah serta ceceran daging.

Itu adalah genosida.

Penonton berseru kegirangan, sedangkan perempuan itu bingung dan kepalanya sakit, mata berkunang-kunang. Sorak-sorai makin ribut, mengharu biru bercampur tepuk tangan dan terompet juga confetti.

Perempuan itu memekik ketakutan.

"Hentikan!!!"

Semua suara menjadi jernih.

Kaca-kaca ruangan pecah, atap runtuh, dinding rubuh, layar sobek, proyektor ambruk, kursi dan meja beserta orang-orang tumbang.

Mari hias jagat fana ini dengan darah dan jeritan!

Pramuka Berbaju Merah: VORTEKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang