Bab 16: Hilang saat Bertugas

43 14 9
                                    

“Ada pengkhianat di antara kita semua ….”

Napas serasa tersekat dan denyut makin bertalu-talu tatkala sembilan peserta menyaksikan peristiwa kebakaran ganjil yang lesap dalam sekejap. Ketika berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepala yang sudah porak-peranda, masa itulah mereka tahu ini saatnya katastrofe tiba. Ingin segala ketidakwarasan dienyahkan, tetapi suasana makin diliputi kegilaan, terlebih saat seseorang mengatakan kalimat mengerikan itu.

Langit sudah menutup pintu cahaya matahari di horizon, sekarang giliran bulan serta kegelapannya berkuasa. Tak mengherankan apabila kemampuan penglihat juga daya tahan bulu tengkuk menjadi turun hingga visi yang ditampak pun terbatas. Kesempatan lebar bagi pemilik kejahatan dan kecurangan melancarkan aksi kejinya.

Jawaban arti dari semua kejadian pula telah mustahil dijelaskan. Segenap kepelikan yang menguasai Bumi Perkemahan tak ayal ejawantah dari akhir hayat paling menakutkan sepanjang hidup para remaja. Padahal mereka masih bau kencur serta harus mempelajari banyak hal lagi di dunia ini, tetapi apa daya nasib sudah memilih ajal tiba.

“Apa maksudmu? Pengkhianat? Apa maksudnya itu, Ghani?”

“Ghani, tolong jelaskan! Jangan membuat kami bingung!”

“Aku tidak paham apa yang kau katakan, Ghani!”

Ghani pilih menyembunyikan penjelasan terkait sebaris kalimat yang diutarakannya. Bertanya-tanya para peserta, apalagi di saat putra jangkung itu berjalan tanpa intensi ke tempat di lain kawasan Tenda Putri.

Niat ikut pun terbit bersamaan dengan opsi ingin memahami jalan pikiran si Tiang Listrik, yang sedari awal tak banyak bincang--lagi pula, pepatah lama mengatakan bahwa banyak dunia di dalam kepala seorang pendiam, bukan?--maka, sekarang delapan peserta bergerombol mengekori Ghani sebagai pemimpinnya.

Ini pula atas usul Fathur--lima puluh persen kontribusinya dalam meyakinkan pengambilan keputusan otak tiap peserta, lima puluh persen katarsis--dia sama sekali tak keberatan perannya diambil alih, mengingat Ghani pun masuk daftar pseudosahabat karib yang satu frekuensi dengannya.

“Ghani, apa yang ingin kau lakukan?” soal Ketua untuk kesekian kali.

Lelaki jangkung dengan mata kanan dibalut perban itu berhenti di damping panggung aula dan reruntuhan musala. Yakni Monumen Tunas Kelapa dengan tugu hitam berhias plakat emas, dan tunas kelapa besar bertengger di bagian atas. 

Seraya berbalik laksana menunjukkan keagungan Monumen Tunas Kelapa di bawah sinar rembulan, Ghani memberi sasmita tatapan lama yang berujung tiba saatnya penjelasan teka-teki mengenai Bumi Perkemahan. 

“Teman-teman, kalian ingat ketika Laili mati secara tidak wajar di Stan Konsumsi dan duri-duri kecil terbang menusuk mataku?” ujarnya sambil menunjuk bagian yang dimaksud, “Saat itu juga ada papan yang muncul dan ada tulisan yang mengatakan ‘ada tiga pengkhianat di antara kita’ bukan? Itulah yang kumaksud dari ucapanku tadi.

“Tapi, ini bukan saatnya untuk memikirkan itu, mengingat tiga pengkhianat yang ada pun tidak kita tahu, dan tak ada jaminan hal itu benar. Apalagi jika kita saling mencurigai, maka itu hanya akan membuat kejadian yang lebih mengerikan dari bunuh-membunuh di lapangan apel sore tadi.

“Makanya, aku menemukan jawaban dari solusi-solusi yang telah kupikirkan sedari awal, yaitu, bahwa … Bumi Perkemahan sedang meminta tumbal untuk menyempurnakan kekuatannya. Itulah mengapa satu per satu teman kita mati dibunuh secara tak wajar, secara mengenaskan. Mereka adalah tumbal.

“Namun, sesuatu terpikirkan olehku. Jika tumbal yang dikorbankan itu malah tidak diinginkan, maka kemungkinan yang terjadi bukanlah penyempurnaan, tetapi kehancuran kekuatan. Ini adalah hal yang bisa dicoba.

“Jadi, untuk mengakhiri kutukan dan kekuatan supernatural Bumi Perkemahan, aku akan menjadi tumbal dan menyelamatkan kalian semua.”

Mendengar itu membuat udara seakan berganti santau yang menguap, hingga asfiksia mengancam nyawa tiap-tiap peserta.

Ahim, sahabat karibnya, akan segera ditinggal sendirian. Sehingga cebol itu berteriak-teriak macam parkit ketika dipanggang hidup-hidup dalam oven, atau ketika parkit digigit lehernya oleh kucing sampai patah seraya sayap meronta-ronta. Memohon, meminta maaf, meminta kesempatan sekali lagi. Segala perkataan dikerahkan demi mencegah penumbalan mandiri.

Namun, Tiang Listrik sudah merupa sosok persisten. Bulat mantap tekad, habis sudah kesempatan. Kala perban dilepas begitu mulus hingga seluruhnya, tampak mata kanan dengan kondisi baik-baik saja.

***

Terbilang pada suatu siang gersang masa pelang baskara mencorong bak maharana serta dirgantara mengalihkan kapas benggala. Satu anak Adam menyerupai pelajar tingkat sifar menilik suara kerisik yang sinambung tercipta di lahan tegalan belakang gedung pendidikan. Apa yang liang matanya tangkap merupa visi yang tak akan pernah dia lupakan sepanjang napas masih mengalir dan jantung masih berdetak.    

Panas terik kian memanggang, silau nian kirana berpijar. Anak itu terbelalak lalu hampir menjerit, tatkala berpuluh satwa berkaki empat kosmopolit bergelimpang di sepanjang parit antargundukan ketela pohon, tercabik-cabik, koyak-moyak pada leher, perut, kaki, maupun tangan. Potongan-potongan bangkai hewan itu tersebar tak merata sampai mengucurkan genangan darah setinggi mata kaki yang hampir menenggelamkan sepatu mungil si anak. Dia tak lain ialah masa kanak-kanak Ahim, sadar bahwa pelaku dari genosida kecil ini merupakan kenalannya.

Ghani mungil membalikkan punggungnya, dengan penampilan pakaian bersimbah darah dan wajah pula kulit bermandikan cairan merah. Putra belia itu berkata bahwa ini adalah hal yang wajar, sambil menjelaskan alasan demi alasan yang dirasa masuk akal, lalu mengacungkan benda-benda tajam yang dia gunakan seraya membanggakan diri atas keberhasilan.

“Ahim, kalau kamu ingin selamat dari dunia, mari bersama-sama menjadi entitas awawujud ….”

Anggukanlah balasannya.

Sekalian, seiring dengan langau-langau berburu santapan lezat beterbangan, sumpah pun dinazarkan.

Jika kami telah bersyarat sebagai tumbal yang tak terlihat.

Jikalau Sang Kuasa menghendaki apa yang hamba panjatkan.

Bila jagat raya seisinya telah nista akan dengki pula durjana para ciptaan-Nya.

Maka kami semua mempersembahkan jiwa pula raga kepada semesta.

“Saya bersedia menghiasi dunia fana ini dengan jeritan dan darah dari seluruh manusia-manusia pendosa.” Amin.

***

Jerit tangis bercampur amarah melengking hingga sudut-sudut gelap Bumi Perkemahan. Meski amat memekakkan telinga, para peserta tersisa tak ingin menutupi indra pendengar mereka. Seakan memang tak pantas menghindari ini--guna menyadarkan bahwa teriakan sehisteris itu mewakili perasaan yang melupa-lupa baikan letusan lumpur panas di lautan lepas.

Dengan wajah bersimbah air mata deras beserta ingus yang meleleh, kulit merah, liur mengalir, Ahim tak hentinya meratapi jasad Ghani yang tak lagi berwujud Ghani. Cebol itu memukulkan kepala, menghantamkan kedua kepalan tangan, ke patung berwujud manusia yang berdiri tegap di sebelah Monumen Tunas Kelapa.

Bahkan topi baret sampai lepas, setangan leher ternoda tanah lumpur, debu kotor, pakaian menjadi lusuh. Ahim sinambung menangisi patung Ghani yang berpose kacak pinggang dan ekspresi bangga bak pahlawan itu.

Selagi peristiwa inti berlangsung di sana, peristiwa lain turut ikut serta di dekat Stan Konsumsi yang sehabis terbakar. Tentang selembar kertas usang yang terpampang pada papan besi yang masih kukuh.

Tentang Perintah selanjutnya.

Pramuka Berbaju Merah: VORTEKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang