BAB 23: SMA Saba

40 13 10
                                    

Pemandangan di luar kaca tentu berupa kabut putih tebal, serasa berada di antara awan-awan saat naik pesawat atau kendaraan sejenis. Minibus yang Intan tumpangi beradu di tepi jalan raya lengang, di depan gerbang suatu sekolah dengan plakat besar bertulis “SMA Saba”. Si putri berseragam pramuka lengap pun keluar dari pintu, menoleh sejenak kepada sopir siluet hitam yang langsung melaju pergi.

Intan berjalan tertatih-tatih memasuki gerbang, langkahnya langsung memasuki sebuah lapangan dalam ruangan yang terbagi menjadi lapangan basket dan lapangan bulu tangkis. Terdapat pula panggung di sisi kirinya. Putri itu menyaksikan ada berbagai stan di pinggir pinggir lapangan yang menjajakan menu menarik serta nyentrik seperti camilan ber-MSG, penganan kekinian, dan minuman es yang bikin batuk.

Di tengah lapangan, tengah berlangsung laga sengit, yakni lomba cepat-cepat memasukkan pensil ke dalam botol, membawa kelereng menggunakan sendok yang dipasang pada mulut secara estafet, juga berpasangan mengapit balon memakai pipi. Ini adalah lomba antarkelas yang diadakan tiap berakhirnya semester pelajaran sekolah. Sorak-sorai penonton buram memenuhi lapangan dalam ruangan, begitu ingar bingar sampai Intan harus menutup telinga dan mengejam mata.

Ketika putri itu mencelikkan mata, tahu-tahu dia berada di senter lapangan. Makhluk-makhluk ganjil bertubuh besi tipis bergigi tajam mengerubunginya di semua penjuru, mengeluarkan suara bising mirip gergaji mesin seiring gigi-gigi berotasi cepat. Intan tak berkutik, pasrah mematung di tempat. Para makhluk ganjil itu menyerbunya, tak memberi ampun. Tubuh Intan pun terpotong-potong, melancut darah merah pekat yang memuncrat ke mana-mana. Tangannya terputus, tungkainya buntung, badannya terpenggal, kepalanya terpancung.

***

Intan membuka mata. Pemandangan pertama yang menyambut adalah dinding-dinding ruangan luas yang terpasang sejumlah pajangan. Di tembok kiri dan kanan, terdapat barisan jendela nako. Di depan, ada papan tulis putih lebar sebanyak dua buah. Intan mendongak, menampak langit-langit asbes putih dengan tiga kipas angin otomatis terpasang. Intan alih menunduk, melihat lantai tegel putih yang mengilat.

Putri itu menyadari dia berada di tengah sebuah ruangan, duduk pada kursi sekolah dengan mengenakan seragam putih abu-abu. “Ini ‘kan di Ruang Serbaguna lantai dua SMA Saba,” kemamnya.  

Tak lama kemudian, masuk tiga orang remaja sebaya dari pintu di sisi kiri, yang menghampiri lalu berbaris di hadapannya. Mereka adalah laki-laki berupa khas Hollywood, laki-laki berpostur cebol, dan seorang perempuan berkerudung.

“Fathur, Ahim, Shilka …,” undang si putri.

“Jangan kaku begitu, kau baru saja kembali, ‘kan?” Fathur tertawa geli, menggaruk tengkuk seraya memberi senyum kikuk.

“Selamat datang, Intan,” sambut Shilka dengan nada malu-malu.

“Hai, Intan! Senang melihatmu sehat!” Ahim tersenyum ceria.

Putri ayu memandang heran, tak mengerti dengan situasi yang sedang berlangsung.

“Ini di mana? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya.

“Oke, tenang dulu, Intan. Tarik napas, buang napas. Nah, sekarang lanjut,” ujar Ahim, masih bisa berkelakar di saat seperti ini. Intan berkernyit sedikit membawang.

Fathur pun mengerling tak senang ke si cebol. “Huh,” cemoohnya. Lalu, dia menatap Intan, “Intan, kau masih ingat ketika Ryan menceritakan tentang minibus ke kau dan Fennia, tetapi tidak bisa mengingat dengan jelas karena pikiranmu serasa dicampur aduk?”

Intan mengerjap. “Iya, kalau tidak salah Ryan berkata begitu. Tunggu, bagaimana kalian bisa tau?”

“Itu tidak penting sekarang. Yang terpenting adalah kau harus mengingat semuanya sebelum terlambat, Intan!” peringat Fathur penuh penekanan.

Intan meneguk air ludah. Butir-butir keringat membasahi kening, saling bergabung lalu meluncur melalui muka pucatnya. Sampai pada dagu, kemudian menetes-netes, membasahi kemeja putih dan lantai tegel. Roman ayu putri itu menjadi kusut.

Langit-langit putih, dinding putih, lantai putih, jendela nako kesemuanya mewujud bentuk abnormal awarupa yang berputar-putar, bergetar, bising, memenuhi indra pendengaran. Intan bernapas menderu-deru, tersengal-sengal. Pupil menyempit, dada serasa sesak, leher terasa tercekik. Kala mata mendelik ke atas, serbuan keping memori menginvasi kepalanya.

Saat itu, kelas XII MIPA 1 memakan dua minibus dalam keberangkatan menuju lokasi Bumi Perkemahan. Perjalanan terasa menyenangkan, meski sesak dan harus berjejal karena ukuran kendaraan yang kecil. Intan berada di minibus belakang, duduk bertiga satu bangku bersama dua putri lain di posisi tengah.

Ketika sampai di suatu kawasan hutan, tiba-tiba sopir berteriak lantang, wajahnya ngeri. Rem yang dia injak berulang kali tidak merespons, sementara laju minibus begitu kencang. Para penumpang pun diberi tahu tindakan pertama saat menghadapi rem blong. Namun, belum semuanya terlaksana, kendaraan menabrak minibus depan yang sopirnya kebingungan, kemudian keduanya meluncur, berguling-guling, tak berhenti sampai pada jurang, dan akhirnya jatuh menuruni tebing gelap.

Setelah kecelakaan itu, Intan tidak mengingat apa-apa lagi.

“Bagaimana, kau sudah mengingatnya?”

Fathur bertanya kala Intan mengangkat kepala, dengan wajah seperti merasa lega.

“Ya, aku sudah mengingatnya.”

Ketiga remaja di hadap pun berseru senang, raut muka berseri-seri.

“Kenapa kalian terlihat bersyukur begitu? Bukankah kita semua sudah mati karena kecelakaan minibus itu?” tanya Intan.

“Tidak semua, Intan.” Fathur mengacung seiring nama itu dia sebut.

“Tapi, bagaimana bisa--”

“Sudah, tidak ada waktu lagi. Sebentar lagi kau akan terbangun di dunia nyata, dan kau harus keluar melalui pintu di akhir tangga bawah. Ayo, cepat kita ke sana!” ajak si putra dengan serius.

Ahim yang menyadari raut syak Intan pun menyikut laki-laki di sampingnya. “Fathur, kau tidak mencoba membohongi Intan lagi, ‘kan?” Liriknya, mengejek.

“Tentu saja tidak! Aku sudah tobat setelah mengetahui kebenarannya. Saat di Buper itu … ya, aku seperti kerasukan dan jadi gila,” Fathur tertawa hambar. Sementara Shilka geleng-geleng.

Intan menatap satu per satu kawannya, lalu mengulas senyum seiring bangkit dari kursi. “Baiklah, aku akan memercayai kalian semua.” Itu membuat semua lega.

Mereka berempat pun keluar, lalu menuju tangga di sudut lorong. Di kala menuruni anak tangga, Ahim berpesan kepada Intan untuk mengenang memori teman-temannya semasa sekolah. Sementara Fathur meminta agar Fathur dan Shilka tetap dijodohkan walau Fathur telah mati.

Sampai di sebuah pintu bertuliskan “EXIT” di atasnya, Intan memantapkan hati. Dia memandang tiga orang di sana bergantian, kemudian mengangguk. Teman-temannya membalas, melambai tangan, menemani kepergiannya dengan semangat. Si putri sempat terharu, tak ingin menitikkan air mata kesedihan. Sambil berpesan bahwa tak akan melupakan mereka semua, dia membuka pintu, masuk ke dalamnya.

Intan pun kembali ke dunia nyata.

###

13 Maret 2021

Pramuka Berbaju Merah: VORTEKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang