BAB 3: Melanggar Peraturan

78 18 20
                                    

Pekik singkat dilakukan Ahim. Para putri pun menatap nanar si cebol. Tanpa menghiraukan, Ahim menunjuk pohon rambutan terdekat Stan Konsumsi.

"Teman-teman, apa itu?"

Sebagian peserta menoleh ke arah yang dituding. Peserta putri yang melihatnya sontak terkesiap lalu berteriak ketakutan. Ada juga yang memeluk teman di sebelah. Beberapa lagi menahan mual akibat bau menyengat nan memuakkan.

"Jangan lihat!"

Ahim memasang wajah heran seolah belum mengerti. Dia mengambil kacamata dari saku baju. Setelah menampak dengan jelas, putra itu mundur ke belakang lalu menepuk lengan Ghani. Ghani menahan kedua pundak Ahim yang gemetar.

Di sela-sela ranting pohon, tersangkut kulit serta daging segar merah marun. Darah mengalir membasahi dedaunan, menetes membentuk kubangan di tanah. Bau anyir pun sontak menyeruak, membuat peka indra penciuman seluruh orang.

Ini gawat! Seseorang harus melangkah maju guna mengatur seluruh peserta dan mencegah hal-hal takdiinginkan terjadi. Ya, saatnya yang berwenang untuk bertugas! Ketua kelas tak lain tak bukan adalah Fathur, telah siap mengambil tindakan.

"Pergi, pindah tempat! Jangan makan di Stan Konsumsi!" Figur berwibawa itu bertitah kepada teman-temannya seraya berkial. Keefektifan aksinya cukup signifikan karena orang-orang bergegas meninggalkan tempat.

Akan tetapi, histeria massal sudah telanjur beranak pinak.

"Panggil polisi!"

"Tidak ada sinyal ... !"

"Gurunya di mana sih!"

“Mereka tidak akan datang … !”

Di tengah-tengah keributan, Ahim memijit dagu, tampak berpikir. "Manekennya hilang … ketika kita lewat tadi." Ternyata dia tengah berbicara dengan Ghani. Namun, kawannya itu tak mengacuhkannya.

Akhirnya huru-hara bisa mereda. Para peserta perkemahan membawa makanan masing-masing menjauh dari Stan Konsumsi, berpindah ke tenda. Para putri duduk di tikar yang digelar di luar kemah, mengunyah nasi dan oseng tempe tanpa niat. Diam seribu basa.

"Makanannya dihabisin dulu." Salah seorang putri menyarankan.

Namun, siapa yang tidak kehilangan nafsu makan setelah menyaksikan pemandangan berdarah tadi? Terlebih, benak jadi kebingungan, harap-harap cemas. Apakah ini kenyataan? Ini pasti bohong, ‘kan? 

Daripada tidak melakukan apa-apa, mari mengais peluang. Cobalah terus menghubungi tiap nomor yang dapat membantu walau tidak kunjung mendapat sambungan. Atau mungkin kembali lagi ke Stan Konsumsi untuk memeriksa tempat kejadian. Patah arang dilarang!

Di Stan Konsumsi, masih ada beberapa peserta yang tertinggal, termasuk semua putra.

"Gimana? Sudah manggil polisi?" Fathur bertanya kepada putri berbadan tinggi besar bernama Qiqit.

"Sudah, tapi enggak nyambung. Padahal sinyalnya penuh." Qiqit memasang ekspresi cemas. “Thur, kamu merasa, enggak, kalau jamnya itu jalannya lama? Kita kayaknya sudah berjam-jam di sini, ‘kan?”

Putra yang lain saling tatap dengan gamang. Ryan dan Fathur yang memakai jam tangan mencoba mencari tahu waktu saat itu. Ghani diikuti Ahim menengok jam tangan Ryan. Mereka menyadari bahwa memang waktu baru berjalan beberapa menit.

Sekarang pukul 11.50 WIB.

"Sudah, tenang dulu. Ini kayaknya ada yang aneh sama kemah ini." Fathur mencoba menenangkan teman-temannya.

Namun, parkit perusak pesta melayangkan kicauannya, seperti, jangan-jangan angkatan kita kena kasus hantu atau semacamnya! Tentu pawang pesta menjinakkan parkit itu.

Demi mencegah sungut leter sendiri, Ahim mencoba tangkap foto dari kulit dan daging segar yang tersangkut di pohon.

Tangan Ghani mencegahnya.

"Kenapa?"

"Kameramu jelek."

Ahim kesal.

Beberapa saat kemudian, gerombolan peserta putri berdatangan ke Stan Konsumsi. Fathur sempat menegur mereka, tetapi katanya guru dan peserta lain belum datang juga. Bahkan panitia Bantara tak tahu-menahu kapan mereka tiba. Maka muncullah spekulasi yang menyatakan bahwa ini saatnya pulang ke rumah, atau menyarankan untuk menunggu orang dewasa datang.

"Lagian," parkit cebol berkata, "apa kamu semua tidak merasa aneh? Kulit dan daging ... tiba-tiba!" Ahim berpose seperti elang yang hendak menyergap mangsa.

“Ya sudah, kita pindah ke depan saja.”

Reaksi Ahim dapat dengan cepat membuat si ketua kelas mengambil keputusan. Maka, dia bersama beberapa peserta lainnya melangkah kembali ke tenda. Putri-putri yang tersisa pun mengikuti, karena tak tahu mau apa di Stan Konsumsi.

Kini semua peserta berada di depan Tenda Sangga 1 Putri, kebetulan tikar-tikar yang digelar mencukupi.

Seruan dari putri berkacamata bernama Tiara mengagetkan orang-orang.

"Teman-Teman, lihat deh ini! Aplikasi Buper Saba. Di HP Bila, Risma, dan Mei juga ada!"

Peserta lain pun lantas mengecek gawai masing-masing, kemudian mendapati memang ada aplikasi bernama Buper Saba diinstal di sistem perangkat. Mereka terlalu terkejut karena tak pernah mengunduhnya. Apakah itu semacam virus yang bisa terpasang sendiri? Situasi makin ngeri kala semua peserta sekelas mendapat aplikasi yang sama.

Ahim menggerak-gerakkan jemarinya, mengusap layar gawai.

Pada aplikasi Buper Saba, dijumpai beberapa menu, yakni “Kegiatan”, “Peserta”, dan “Keluar”. Di menu “Kegiatan”, muncul submenu “Perintah”. Ketika diklik, tampilan yang muncul hanyalah layar putih kosong. Di menu “Peserta”, ada foto segenap peserta XII MIPA 1. Di menu “Keluar”, tidak diketahui apa.

Setelah itu, para peserta kembali berdiri atau duduk untuk menunggu seseorang yang mungkin muncul tiba-tiba lalu datang menyelamatkan sambil membawa bala bantuan.

Ryan merasa frustasi. Putra tinggi berbadan tegap itu melangkah menuju gapura alias akses masuk. Dia mengajak satu putra lain untuk keluar dari Bumi Perkemahan, menjemput guru atau peserta lain yang mungkin masih di tengah gerak jalan. Namun, temannya hanya menatap, tanda bahwa Ryan harus pergi sendiri.

Ryan memutuskan lanjut berjalan hingga sampai di depan akses masuk. Saat kakinya hendak keluar, seseorang menepuk pundak. Dia adalah Fathur. Putra berwajah khas artis Bollywood itu memandang serius, memberi isyarat untuk ‘jangan ke sana!’.

Fathur kemudian mengambil ranting pohon, melemparnya ke luar. Ryan pun terkejut. Ranting itu hancur berkeping-keping menghantam akses masuk, layaknya ada dinding pembatas di sana.

Sementara itu, para peserta memilih salat terlebih dahulu di musala, mengantre di tempat wudu. Sebagian lainnya memandang Fathur dan Ryan yang tampak serius menatap gapura, termasuk pemandangan di luar. Penasaran, mereka pun berangkat mendekat.

Sesampainya, mereka dibuat tercengang atas apa yang disaksikan. Dari kejauhan, berdatangan rombongan peserta perkemahan lainnya yang mengenakan kaus olahraga almamater, diiringi beberapa panitia Bantara juga sejumlah guru.

Ryan hendak berseru ke teman-teman yang lain. Namun, Fathur menempelkan telunjuknya ke bibir, memberi gestur supaya diam dan tenang terlebih dahulu. Benar saja, saat peserta perkemahan dari luar melewati akses masuk, mereka semua menghilang, tampak seperti melewati dunia lain melalui semacam portal tak kasatmata.

"Kenapa! Kenapa! Woi! Lihat ke sini! Woi! Lihat, woi!" Ryan meremas kepalanya sembari berteriak kacau. Teman-teman yang ikut menyaksikan pun tercengang bukan main.

Kehebohan yang tercipta membuat peserta lain menoleh lalu seketika ceria, tetapi kemudian mengalami alternasi murung serta kebingungan saat melihat orang-orang dari luar hilang menembus akses masuk.

"Jangan melewati gerbang itu!" ancam Fathur dengan wajah menakutkan.

Tak lama lagi, satu demi satu peserta akan kehilangan kewarasannya, jatuh terisap ke dalam pusaran kematian ….

###

Kudus, 19 Januari 2020

Pramuka Berbaju Merah: VORTEKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang