BAB 24: Kegiatan Baru

48 14 12
                                    

Aku tak suka bau kamar rumah sakit.

Segera setelah aku sadar dalam keadaan wajar, duduk pada ranjang pasien, seorang wanita paruh baya berlari keluar memanggil suster. Beberapa saat kemudian, seorang pria berpakaian mirip dokter muncul diekori wanita tadi, menanyakan keadaanku. Aku hanya bisa mengangguk dan menggeleng, masih dalam awang-awang, meski sebenarnya organ lidahku tidak kelu. Setelah itu, si pria dokter bersama si wanita membahas suatu hal yang tampaknya penting, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka obrolkan.

Wanita paruh baya berkata bahwa dia adalah ibuku, lalu aku langsung mengiakan karena memang demikian. Kemudian aku ditanya, apakah aku kenal aku? Ya, jawabku, tentu saja. Aku tidak takingat. Bukannya amnesia atau hilang memori sejenis. Aku benar-benar sadar siapa diriku.

Sayangnya, hanya satu hal yang tidak kumengerti.

Apa penyebab aku koma beberapa minggu?

Kata suster dari kata dokter, tubuhku tidak boleh terlalu banyak digerakkan, tetapi juga harus digerakkan. Jadi aku latihan berjalan dengan jadwal. Aku pula belum bisa mengunyah makanan bertekstur keras, sehingga menu makannya pagi bubur, siang bubur, malam bubur, kalau tengah malam tidur.

Selagi aku dirawat di rumah sakit berbau aneh ini, sejumlah sanak saudara dan teman-teman sekolahku datang berkunjung. Mereka membawakan buah tangan berwujud buah-buahan, roti, kue, buket, kartu ucapan, dan lain-lain yang sebenarnya tidak bisa kumakan saat ini (oke, tiga terakhir jangan dianggap serius).

Aku cukup aneh mengetahui om, tante, pakde, bude, sepupu, semua menjenguk (tentu tidak berbarengan). Lebih aneh lagi saat teman tidak sekelasku besuk menunjukkan raut sedih kala melihat rupaku yang biasa-biasa saja, kemudian setelah mereka keluar langsung bersorak ria sambil melakukan high-five.

Selain itu, ibuku bilang, aku punya dua adik, laki-laki semua. Nakal semua, sering bertengkar. Aku biasanya jadi Kakakzilla untuk melerai mereka. Keduanya sekarang di rumah, dijaga oleh ayahku--yang kadang kala ke sini juga.

Sudah sekitar dua minggu berlalu, aku diperbolehkan bergerak leluasa. Sering aku minta izin jalan-jalan sebentar mengelilingi lorong rumah sakit atau naik elevator sampai teras atap, tidak menikmati apa-apa karena tidak ada apa-apa di sana selain lantai semen serta dinding kusam. Menu makananku juga naik level, dari bubur serealia disulap menjadi orak-arik serealia (dan, tolong, ini tidak keren). Tidak masalah, yang penting rasanya enak.

Sesudah satu bulan berlalu, barulah aku diberi tahu alasanku bisa masuk rumah sakit.

Dokter telah sedia berdandan rapi demi memaparkan kisah sedih yang dia siapkan semalam suntuk serta berlatih di depan cermin berulang kali--untuk diingat, ini hanyalah anggapanku--sementara ibuku duduk di samping, di atas kursi bakso, dengan satu pak tisu tersedia di nakas sebelah.

Ceritanya pada Sabtu pagi yang cerah dan menyenangkan, sekolahku mengadakan Perkemahan Angkatan Kelas 12. Kelasku, XII MIPA 1, kebetulan pas menggunakan dua angkot yang dapat giliran terakhir--mungkin akibat kelalaian input Akademik. Di pagi yang cerah dan menyenangkan itu, dua angkot yang kelas kami tumpangi jatuh ke jurang, hanyut dibawa arus deras sungai besar, tepatnya di Sungai Lajak. Aku beruntung karena ditemukan tersangkut di sebuah pohon tepian. Sementara teman-teman sekelasku tidak beruntung karena ditemukan mengapung di waduk petani dan selokan warga, atau terpotong-potong di pinggir pantai.

Katanya aku sempat viral di televisi dan media sosial. “Wow, keren,” seruku. Namun, katanya juga pers serta pihak polisi sudah membungkam kasus ini supaya tidak terlalu heboh. Hmph, pengalihan isu, protesku. Tentu dalam hati karena tak mau membuat ibuku yang menangis pilu beralih menangis geli.

Usainya cerita diwarnai dengan dokter yang menghadiahiku setangkai bunga mawar yang durinya diam-diam menusuk jariku sampai inflamasi.

Keesokan harinya, aku lagi-lagi diberi kejutan tentang korban lain yang selamat. Selain itu, aku dinasihati untuk tidak sering-sering bercanda berlebihan karena dapat merusak sel-sel otak. Aku mengangguk. Sebenarnya itu upaya supaya pikiran-pikiran negatif di kepalaku bisa enyah untuk sementara waktu.

Aku sudah siap di depan pintu kamar yang tertutup dengan rangkaian bunga di genggaman--yang kucuri dari vas bunga di atas nakas sebelah ranjangku. Setelah kubuka pintu, seorang wanita paruh baya menoleh. Tatapannya masam, tidak sedih maupun tidak ceria. Sesudah permintaanku dikabulkan, aku diberi waktu berdua bersama pasien perempuan yang berbaring kaku di atas kasur, dengan balut membungkus setiap inci tubuhnya--bahkan wajahnya pula. Ada banyak selang serta alat bantu respirasi yang terhubung ke badan perempuan itu.

Melihat rupa si pasien yang jauh tidak beruntung dibandingkan nasibku, berbagai bisikan, pikiran, dan spekulasi berputar-putar lalu merangsek masuk ke benakku. Saat itulah, aku menyadari sesuatu. 

Eh? Siapa aku? Ayolah, aku tidak mau membuat ini semakin rumit. Jadi kuperjelas sekali lagi, ya. Aku Intan, pelajar SMA yang selamat dari kecelakaan maut di Sungai Lajak.

Siapa perempuan di depanku ini? Namanya Shilka, dia pernah jadi teman dekatku. Inisial pacarnya yaitu Fathur. Terus hobinya adalah mengoleksi kerang dari material pasir di toko bangunan.

Ah, Shilka. Keadaannya cukup menyedihkan. Pasti lukanya sangat parah sampai-sampai tubuhnya dibalut kain kasa sebegitu banyaknya. Kata wanita bermuka masam tadi, itu akibat luka bakar parah. Aku hanya bisa mendoakan kesembuhannya.

Ya, benar. Shilka, kumohon, segera pulihlah. Berjuanglah melawan penderitaanmu.

Karena, jika tidak, semua hal yang kuperjuangkan sejak terbangun di rumah sakit ini menjadi sia-sia.

Karena, di sebelah kasur, berdiri sosok hitam berupa asap yang termanifestasi postur laki-laki sebaya yang sepertinya mengenakan seragam sekolah, topi, serta setangan leher. Aku tidak tahu siapa sosok itu, tetapi dia selalu membisiku dengan perintah-perintah yang berjejal di kepala sampai membuat tengkorak hampir pecah.

“Bunuh …. Bunuh dia …. Bunuh sekarang juga …. Bunuh perempuan ini …. Bunuh, cepat!”

Beberapa hari berlalu, kisikan-kisikan aneh itu terus-menerus berpusing di sekelilingku, bagai mewujud pusaran raksasa berkecepatan tinggi yang siap mengisap tubuhku kapan saja, masuk ke dalam mulutnya lalu hilang tanpa bekas ke dunia antah-berantah.

Maaf, ya Shilka. Sepertinya aku sudah tidak kuat. Karena, selepas melihat rupamu, aku berpikir lebih baik kamu mati saja. Tenang saja, akan kuakhiri dengan cara yang damai, supaya arwahmu tenang di alam sana.

Kemudian, dalam keputusasaan, aku mencabut selang milik Shilka, sehingga dia mati beberapa saat setelahnya.

###

14 Maret 2021

Pramuka Berbaju Merah: VORTEKSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang