Pagi ini selepas sarapan pagi, saya buat janji dengan seorang sahabat di sebuah warung kopi. Singkat cerita, bertemulah kami di warung kopi itu. Kami berbincang-bincang banyak hal, dari mulai ngobrol santai, evaluasi projek yang belakangan kami rintis, potensi-potensi bisnis yang akan dikerjakan ke depan, hingga refleksi terhadap sejumlah kejadian beserta orang-orang yang ada di dalamnya. Dalam diskusi warung kopi itu, saya menangkap satu pelajaran penting, yang lalu saya anggap penting untuk saya tulis sebagai bahan refleksi di sini. Pelajaran penting itu adalah soal “pilihan kata” atau dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya dengan istilah “diksi”.Jika kita perhatikan, dalam keseharian hidup kita seringkali menemukan berbagai bentuk percakapan. Apakah percakapan itu ada dalam forum pertemuan yang formal, seperti seminar, talk show, dan lainnya. Ataupun juga percakapan sehari-hari yang kita lakukan di berbagai kesempatan, seperti di tengah keluarga, pergaulan, rekan kerja, transaksi jual beli di toko dan pasar, dan seterusnya.
Ada sebuah perumpamaan yang sering kita dengar, “teko mengeluarkan apa yang di dalamnya. Kalau teko itu berisi air kopi, maka air kopilah yang keluar. Kalau teko itu berisi air teh, ya air teh juga yang akan keluar.” Maksudnya kira-kira begini, kata-kata yang keluar dari seseorang itu tergantung dari apa yang ada di dalam pikirannya, yang ada dalam penyimpanan memori otaknya. Ya benar, pilihan kata itu ternyata tidak sesederhana yang kita dengar. Sebab, seseorang berkata begini atau begitu, tentu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Kalau saya coba listing, sejumlah latar belakang suatu “pilihan kata” yang diambil oleh orang itu dipengaruhi oleh, misalnya, tingkat pendidikan, lingkungan pergaulan, bidang ilmu yang dikuasai, lingkungan kerja atau profesi yang digeluti. Lebih jauh lagi, bisa juga dipengaruhi oleh pemahaman dan pengamalan agama, kondisi psikologis pada saat bercakap-cakap, dan mungkin masih banyak lagi faktor yang melatarbelakanginya.
Semua bentuk dan ragam “kata” sesungguhnya dimiliki oleh publik, yang tentu saja tidak dibatasi oleh status sosial, tingkat pendidikan, atau kalangan tertentu manapun. Tapi dalam kenyataan sosial, disadari atau tidak “pilihan kata” seringkali menunjuk pada status sosial, kelas pergaulan, dan komunitas tertentu. Contoh, penggunaan kata “lu”, ‘kamu”, “anda”, atau “antum”, meskipun memiliki arti yang sama (yaitu: kata panggilan kepada lawan bicara), namun ia memiliki “kesan” dan “makna psikologis” yang berbeda antara satu kata dengan kata lainnya.
Sampai di sini kita lalu memahami dan mungkin seharusnya menginsafi, bahwa “pilihan kata” yang dalam bentuk susunannya berbentuk “kalimat”, dapat kita gunakan sebagai salah satu ukuran (bukan satu-satunya) agar kita menyadari siapa lawan bicara kita. Adanya kesadaran siapa lawan bicara yang kita hadapi, membantu kita untuk: pertama, menyesuaikan diri (adaptasi) dalam “memilih kata” yang paling tepat agar satu frekwensi dengan lawan bicara kita; kedua, pemilihan kata yang tepat menempatkan kita dalam perasaan “in-group” dan membaur dengan lawan bicara, sehingga dapat mendekatkan jarak psikologis dalam percakapan; dan ketiga, pesan atau makna yang ingin disampaikan dapat saling dipahami dengan benar (mutual-understanding). Hal yang terakhir ini sangat penting untuk menghindari “gagal paham” dalam komunikasi.
Menyitir sebuah pepatah yang sangat popular, “mulutmu harimaumu”. Kesalahan memilih kata bisa berakibat fatal bagi yang mengucapkannya. Bisa menyebabkan pertengkaran, perkelahian, bahkan menyebabkan seseorang terjerat kasus hukum, seperti yang dialami sejumlah orang yang marak dalam pemberitaan dan sosial media. Betapapun maksud yang ingin disampaikannya baik, tapi bila salah memilih kata-kata dapat menyebabkan orang salah memahami, dan menjadi penyebab permusuhan. Tapi banyak juga “niat buruk” dan tujuan yang dangkal dapat melenakkan orang, bila orangnya pandai mengolah kata laksana menghembuskan angin surga.
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan satu pelajaran berharga yang pernah disampaikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah: “Katakanlah (hanya) yang baik-baik, atau (kalau tidak) diam.” Perkataan yang baik akan merdu didengar telinga dan menenteramkan hati. Kata-kata yang membalut kebaikan dan akhlak tentu akan terlontar dengan komunikasi yang baik dan menyejukkan audiennya. Bahkan di dalam al-Qur’an al-Karim, ada sebuah ayat dalam surat Ali Imron yang menjelaskan istilah “yad’una ila ‘l-khyr” (menunjukkan kebaikan), “amar ma’ruf” (memerintahkan pada kebaikan), dan “nahi munkar” (mencegah keburukan). Pelajaran singkatnya adalah, seruan kebaikan harus dilakukan dengan komunikasi dan cara-cara yang baik. Begitupun sebaliknya, upaya mencegah keburukan juga dilakukan dengan komunikasi dan cara-cara yang baik pula.
Akhirnya, sebagai makhluk sosial yang meniscayakan komunikasi antara satu dengan lainnya, seyogyanya kita perlu bijak dalam memilih kata-kata agar menghindari orang lain salah memahaminya, dan juga bijak dalam memahami pilihan kata dari lawan bicara kita.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRI URBAN
Non-FictionIqro'! Bacalah! demikian sepenggal kata imperatif yang diajarkan Jibril kepada Muhammad Saw. pada kali pertama ayat al-Qur'an diturunkan ke muka bumi. Apa yang dibaca? Jika perintah membaca dipahami secara literer, maka yang disebut membaca adala...