Di penghujung hari ini, saya sempatkan diri berkunjung ke sebuah foodcourt di kawasan selatan Jakarta. Langkah pertama keluar dari parkiran menuju area tempat duduk, terlihat dari kejauhan berjejer boot-boot kuliner dengan berbagai menu yang ditawarkannya. Memang bukan kali pertama saya mengunjungi tempat itu. Beberapa kali sebelumnya saya ke sana untuk sekedar menikmati secangkir kopi dan ngobrol santai merelease rasa lelah seharian beraktifitas. Tapi malam ini, sambil berdiskusi dengan seorang sahabat, diam-diam saya menangkap kesan yang sangat berbeda dari apa yang saya saksikan di depan mata. Dan benar saja, saya cukup terinspirasi untuk menulis sebuah catatan kecil untuk menutup hari ini, yaitu tentang kuliner dan gaya hidup.
Pada awalnya makan dan minum adalah kebutuhan dasar (primer) yang harus dipenuhi oleh semua orang agar bisa bertahan hidup, dan hingga detik inipun rumus ini masih berlaku. Makanya dalam konteks ini kata-kata bijak berikut sering kita dengar, “MAKAN ITU UNTUK HIDUP, BUKAN HIDUP UNTUK MAKAN.” Saya tidak dalam kapasitas menguji kebenaran kata-kata bijak ini, tapi dalam soal “makan” pada kalimat yang kedua, rasa-rasanya sekarang ini maknanya mulai bergeser. Apa pasal?
Sebelum saya lanjutkan, saya teringat dengan sebuah joke yang pernah terlontar dari seorang kawan. Dia berkata begini: Dalam soal makan, manusia dibedakan menjadi tiga tipe. Tipa pertama adalah orang-orang yang berfikir besok “makan apa?” Tipe kedua adalah orang-orang yang berfikir besok “makan di mana?” Dan tipe ketiga adalah orang-orang yang berfikir besok “makan siapa?”
Jika tipe pertama bisa dijelaskan sebagai lapisan masyarakat yang sehari-harinya bekerja keras dan berjibaku untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer, maka tipe kedua adalah lapisan masyarakat yang sudah masuk area “green zone” atau sejahtera secara ekonomi. Tapi berbeda halnya dengan tipe ketiga, yang hanya bisa dipahami secara konotatif (makna kiasan). Dan saya kira anda sudah memahaminya.
Sekarang kita lihat, benarkah soal makan di masyarakat jaman now ini mengalami pergeseran makna? Pada era kemajuan teknologi informasi saat ini, di mana semua hal ter-display secara live melalui berbagai channel social media. Tak terkecuali promosi dan iklan penawaran menggiurkan terkait produk-produk kuliner. Masyakat saat ini digiring—bahkan bisa disebut “dijejali” secara psikologis—untuk menyukai, dan bahkan diubah alam bawah sadarnya, dari “biasa-biasa saja” menjadi “suka”, dan dari sekedar “suka” menjadi “butuh”.
Pada joke di atas, tipe orang yang kedua adalah orang-orang yang secara status sosial-ekonomi berada pada level sejahtera, atau minimal mendekati sejahtera. Indikatornya, misalnya, memiliki penghasilan yang cukup, memiliki rumah dan kendaraan pribadi meskipun masih nyicil, dan semua kebutuhan lainnya relatif terpenuhi.
Secara teoritis, negara-negara berkembang seperti Indonesia, terutama di kawasan perkotaan lebih banyak didominasi oleh tipe masyarakat pada lapisan yang kedua ini. Lapisan masyarakat mayoritas ini bisa digarisbawahi karena setidaknya ada dua prasyarat yang terpenuhi. Pertama, mereka umumnya memiliki smartphone yang canggih. Kedua, akses informasi yang mudah melalui social media dan trend ber-socmed menjadi aktifitas rutin sehari-hari.
Nah, untuk lapisan masyarakat yang berkocek tebal atau tipe kedua di atas, fenomena banjir informasi soal kuliner ini kemudian menjadi tradisi baru yang lagi nge-trend untuk berburu kuliner. Tak peduli seberapa jauhnya akan ditempuh, dan seberapa mahalnya harga rela dibayar.
Setali tiga uang, pergeseran soal makan dari sekedar memunuhi kebutuhan primer menjadi gaya hidup ini juga melahirkan tradisi, atau saya menyebutnya dengan “ritual baru”. Dulu sebelum makan ritual yang diajarkan oleh orang tua kita adalah berdo’a dan bersyukur kepada Tuhan atas nikmat rezeki makanan, sekaligus mengharap berkah dari makanan yang akan disantap. Sekarang ritual orang sebelum makan adalah selfi bareng makanan, lalu nge-share ke social media. Entah tujuannya berbagi informasi kuliner, atau sekedar untuk exist di khalayak publik social media.
Welcome to the jungle, demikian penggalan sebuah lirik lagu Gun n’ Roses. Itulah faktanya saat ini. Kita tidak bisa membendung arus informasi yang membanjiri pikiran dan alam sadar seluruh pengguna smartphone. Tak terbatas umur, status sosial-ekonomi, letak geografis, budaya, atau agama, semuanya melebur dalam ritme dunia tanpa batas (borderless-world). Sekali lagi, kita tidak akan mampu membendung gejala yang melanda secara global ini. Tapi bukan berarti kita tidak mampu mengarahkan lajunya. Betapapun kita menikmati teknologi informasi sebagai virtal reality dari kehidupan nyata, tapi kita tetap seharusnya bisa mengendalikan dan mengantisipasi potensi dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya, baik melalui pendekatan budaya maupun pendekatan agama.
Di penghujung catatan ini, saya ingin menyampaikan sebuah hikmah (hadits) yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, yang terjemahan bebasnya kira-kira: “Berbuatlah untuk duniamu (berkarya) seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan berbuatlah untuk akhiratmu (ibadah) seolah-olah besok mati.” Semoga hikmah ini menjadi jangkar dari perahu kehidupan yang membuat kita teguh dan tidak terhempas gelombang dan badai informasi yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan kita, atau membelokkan kita dari arah tuju dalam menjalani kehidupan di jaman now ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SANTRI URBAN
Kurgu OlmayanIqro'! Bacalah! demikian sepenggal kata imperatif yang diajarkan Jibril kepada Muhammad Saw. pada kali pertama ayat al-Qur'an diturunkan ke muka bumi. Apa yang dibaca? Jika perintah membaca dipahami secara literer, maka yang disebut membaca adala...