Mie Ayam Generasi Kedua

17 1 0
                                    

Suatu waktu saya pergi ke bilangan Sunter, Jakarta Utara, bersama seorang kawan untuk suatu urusan. Selama di perjalanan, ia menceritakan bahwa di Sunter dulu ada pedagang mie ayam dengan porsi sangat banyak. Letaknya di tepi jalan raya, seberang toko bangunan.

Kawan saya menceritakan, bahwa mie ayam itu sudah ada sejak ia masih kecil. Kebetulan ia dulu tinggal di daerah itu sejak kecil hingga remaja, bahkan hingga lulus SMP di sana. Karena satu dan lain hal, keluarganya pindah ke daerah Bintaro, Tangerang Selatan. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tindak mengunjungi atau lewat di daerah itu.

Penasaran dengan ceritanya, sebelum kami menuju lokasi pertemuan, kami menyempatkan diri menuju lokasi yang dimaksud. Saat itu jam tangan saya menunjukkan pk. 11.45. Kami masih punya waktu kurang lebih sejam-an, karena jadwal pertemuan pk. 13.00. Dari kejauhan memang terlihat gerobak mie ayam, persis di tempat yang diceritakan. Setelah memarkirkan kendaraan di tepi jalan, kami bergegas menuju gerobak mie ayam tersebut. Alhamdulilah ternyata benar masih jualan, dan beruntungnya belum habis. "Ciri khas lainnya selain porsinya yang besar, kalau jualan tidak pernah melewati waktu zhuhur. Dari dulu sebelum zhuhur pasti habis terjual," kenang kawan menceritakan kepada saya.

Kami lalu memesan dua porsi. "Kebetulan sekali dik, tinggal dua porsi lagi," demikian ucap bapak penjual mie ayam itu. Mimik mukanya datar. Sopan melayani, tapi tidak terlihat seperti orang yang menghambakan diri kepada pembeli. Itu seperti mematahkan adagium yang berlaku di dunia hospitality, hotel atau restoran, bahwa "pembeli adalah raja." Ya, tidak salah juga jika memahaminya benar. Karena yang dimaksud adalah customer satisfaction (kepuasan pelanggan). Tapi mungkin prakteknya saja banyak yang keliru. Lebih-lebih jika supervisornya salah memahami, lalu mendoktrin anak buahnya, waiter/waitress, untuk membabu di hadapan tamu.

Tidak lama, bapak itu menyodorkan dua mangkuk besar mie ayam ke hadapan kami. Di luar dugaan, satu porsinya setara 2,5 porsi jika dibandingkan mie ayam yang dijual di tempat lain. Ukuran mangkuknya lebih besar dari mangkuk cap jago yang menjadi standar mie ayam kaki lima. Isinya muncung sampai-sampai garnis irisan daun bawangnya sedikit tumpah berjatuhan. "Dahsyat! Sangat banyak. Seumur-umur makan mie ayam, belum pernah terhidang satu porsi sebanyak itu," komentar saya kepada kawan, sambil senyum mengembang.

Dengan semangat tangan saya meraih kondimen yang berjajar di pinggiran meja, menyandar pada tembok triplek semi permanen bagian belakang warung. Warna tipleknya mulai pudar. Tampak beberapa bagian mulai rapuh dan bolong-bolong yang ditambal bekas poster Capres-Cawapres pada Pemilu 2019 lalu. Saya mulai menuangkan saus, kecap dan sambal satu per satu, lalu mengaduknya perlahan.

Rasanya sih tidak terlalu istimewa, persis rasa mie ayam yang dijual pada umumnya. Tapi yang membuat orang tidak pernah lupa-saya sendiri juga ingat sampe sekarang-adalah porsi jumbonya. Kagetnya lagi, dengan harga yang sama seperti umumnya harga semangkuk mie ayam. Sepuluh ribu perak. "Edan! Dapat untung gak itu?," gumamku sambil menyeka keringat yang mulai membasahi dahi.

Sambil bersantap penuh semangat, kami sedikit berbicang dengan penjualnya. Kawan saya penasaran, karena sepertinya penjualnya agak beda dengan sosok yang dia ingat dulu sewaktu masih kecil. Entah karena bertahun-tahun tidak ketemu, atau karena memang sudah ganti orang yang jualan di situ. Setelah ditanya, bapak itu mengaku bahwa dulu yang jualan adalah bapaknya. Saat ini, ia adalah penjual mie ayam generasi kedua. Meski generasi kedua, usianya sudah tidak tampak muda. Perkiraan saya kira-kira di atas 50-an tahun.

Saya banyak tanya ini dan itu kepada bapak setengah baya penjual mie ayam legendaris itu. Sambil kami menyantap mie ayam buatannya bapak itu banyak bercerita. Tangannya tampak gesit berpengalaman merapihkan peralatan yang sudah tak terpakai dan membersihkan meja, bersiap-siap menutup dagangannya. Sampai pada satu jawaban, bapak itu berkata, "alhamdulillah, dik, dengan jualan mie ayam ini saya bisa menghidupi anak istri. Dulu masih ngontrak, karena keluarga saya masih tinggal di desa. Tapi sekarang saya sudah bisa beli rumah sendiri di sekitaran sini. Anak istri sekarang sudah tinggal bareng di rumah sendiri. Anak sulung saya juga sudah jadi Sarjana Ekonomi, sedang adiknya duduk di bangku SMA," demikian tukasnya.

Saya penasaran mendengar kisahnya. Karena, jika dilihat kasat mata, penghasilan dari jualan mie ayam tentu tidak sebesar omzet sebuah outlet restaurant dengan fasilitas bagus, dan menu yang beragam lagi mahal. Seporsi mie ayamnya dijual dengan harga yang wajar. Bahkan kalau saya bilang sangat murah. Pastinya ia tidak banyak mengambil banyak keuntungan di setiap porsinya. Saya bertanya-tanya, apa yang membuat kehidupan bapak itu demikian bersahaja. Lepas dari masalah hidup dan kekurangannya, nyatanya terlihat jelas tidak ada guratan kecemasan yang membekas di balik wajahnya yang polos dan sederhana itu.

Dari mimik muka dan sorot matanya yang teduh, terpancar rasa syukur dan ikhlas menerima apa yang menjadi takdirnya. Sebuah jalan hidup sebagai seorang penjual mie ayam kaki lima. Perantau desa yang bertahan hidup di Jakarta. Jauh sekali dari kesan ambisius dan rakus, sebagaimana terlihat dari banyak warga kota yang sehari-hari mengendarai mobil mewah dan berkantor di lanta 17 di gedung pencakar langit yang megah.

Dalam hati saya termenung berdecak heran. Mendengar cerita bapak penjual mie ayam itu, saya jadi ciut dibuatnya. Takjub sekaligus bertanya-tanya. Saya membandingkan dengan diri sendiri, apakah saya sudah mampu bersyukur dengan apa yang saya capai dalam hidup ini? Ini bukan soal mau merubah nasib atau tidak. Soal takdir, jalan hidup, setiap orang punya garis yang berbeda-beda-demikian ajaran agama yang masih lekat di ingatan waktu duduk di Madrasah Diniyah. Tapi ini soal bagaimana seseorang mampu mengalahkan diri sendiri dan egonya. Mampu meredam gejolak hawa nafsunya. Menerima setiap ketentuan Tuhan, dan selalu bersyukur dengan apapun yang diterima sepanjang hidupnya. Dan saya, kesadaran saya diketuk melalui sosok pedagang mie ayam generasi kedua. Sosok yang sederhana dan bersahaja.


***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SANTRI URBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang