Kesadaran tentang Waktu

7 2 0
                                    

“Tahun demi tahun berlalu, rasanya baru kemarin sore Aku merasakan serunya bermain bola bersama teman-teman masa kecilku di desa. Sore tadi kulihat anakku, Rafa, 12 tahun, melakukan apa yg dulu aku sukai, hujan-hujanan sambil bermain bola.” 

Waktu terasa merambat begitu cepat, lebih cepat dari yg dapat disadari keberadaannya. Padahal, dari dulu sehari sama, 24 jam. Yg membedakan hari adalah “kesadaran diri” tentang waktu. Minimnya kesadaran diri tentang waktu akan membuat waktu terbuang sia-sia, tidak berkualitas, dan tidak memberi manfaat apa-apa. 

Kesadaran diri bahwa kita ada di dalam waktu sangat penting, bahkan lebih penting dari posisi modal bagi seorang pedagang. Seorang pedagang selalu menghitung seberapa besar keuntungan yg diperoleh setiap item produknya, dengan selalu mendasarkan pada rumus harga jual dikurangi harga pokok produksi (HPP) dan biaya-biaya. Tentu, memahami ini tidak butuh pendidikan yang tinggi atau pernah mesantren di mana... Makanya, seorang pedagang di strata apapun, akan berusaha dengan berbagai cara agar harga jual suatu produk memiliki nilai lebih tinggi dibanding harga pokok produksi, sehingga ia akan mendapatkan keuntungan dari perdagangannya. 

Nah, dengan analogi pedagang tadi, waktu adalah modal yang paling berharga yang dimiliki oleh setiap orang. Sehari yang 24 jam itu ibarat harga pokok produksi, produknya adalah aktifitas (amaliyah) yang dilakukan di sepanjang hari, dan untung (profit) atau rugi (loss) diukur dari manfaat (benefit) bagi diri, keluarga ataupun masyarakat luas. 

Nilai atau bobot dari produk (amaliyah) itu sendiri terletak pada: 1) seberapa besar manfaat (utility) yg diperoleh; 2) seberapa luas pengaruh kemanfaatannya bagi diri dan orang lain; dan 3) seberapa jauh jangkauan (jarak dan kontinuitas) manfaatnya (jangka pendek atau panjang) atau dalam bahasa agama antara dunia dan akhirat. 

Dengan ketiga ukuran produk (amaliyah) tersebut, kita akan menghitung-hitung (muhasabah), apakah 24 jam dalam 1 hari yang kita miliki menghasilkan keuntungan (profit) atau justru mengalami kerugian (loss)? Plus kita juga akan memahami, apakah aktifitas kita lebih berjangka pendek (duniawi) ketimbang jangka panjang (ukhrawi). 

Cara pandang seorang pedagang di atas hanya perumpamaan atau tepatnya sebuah contoh, dan tentu saja kita bisa menggunakan cara apapun untuk memahami setiap detik waktu yang kita punya. Singkatnya, butuh semacam kesadaran yang tinggi terhadap waktu, sehingga kita mampu memanfaatkan setiap detiknya agar diisi dengan hal-hal yang positif dan berjangka panjang. Sebab jika tidak, pada saatnya nanti setiap orang akan mempertanggungjawabkan modal/waktu yang dimilikinya kepada Super Big Boss, Dzat Suci Sang Penciptakan waktu, Allah ‘azza wa jalla. 

***

SANTRI URBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang